jendela google

Google

Selasa, 19 Februari 2008

ISLAMISASI PENGETAHUAN[1]: SUATU PENGANTAR

[1] Pengatahuan (Knowledge) tidak dapat didefinisikan secara verbal, it can be defined only through disjunction and example. A Knowledge is the process of knowing and identical with the knower and the known, or it is an attribute enabling the knower to know. Lihat, Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant The Concept of Knowledge in Medieval Islam, (Leiden: E. J. Brill, 1970), hlm. 48 dan 52. In Islam, Knowledge is acquired through the channels of true narrative, sound senses, sound reason and intuition, dikutip dari, M. Aslam M. Haneef, “Islam, The Islamic Worldview, and Islamic Economics, IIUM Journal of Economics and Management 5, no. 1. (1997): 48. Menurut Syed Naquib al-Attas, ada dua bentuk pengetahuan: The First kind of knowledge is given by God through revelation. The Second kind of knowledge refers to knowledge of the sciences (ulum), and is acquired through experience and observation and research, it is discursive and deductive and it refers to objects of pragmatical value, dalam, Islam and Secularism, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1993) hlm. 146. Sedangkan, definisi science menurut Achmad Baiquni adalah: “himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang disimpulkan secara rasional dari hasil-hasil analisis kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh melalui observasi pada fenomena-fenomena alam”. Lihat Achmad Baiquni, “Filsafat, Fisika, dan al-Qur’an”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an., Nomor 4 Vol .II, 1990, hlm. 4-12

Fungsi Uang Dalam Perdagangan:

Dasar Pemikiran
Pada dasarnya, uang[1] hanyalah benda biasa, bisa berbentuk koin, lempengan biasa, atau kertas. Tapi di dalam uang, hakikat guna, nilai, bahkan maknanya sangat luar biasa. Uang tergolong benda unik, khas, dan menawan sepanjang sejarah peradaban manusia. Semenjak muncul 3.000 tahun lalu di Libia pada masa pra-kerajaan Yunani hingga kini, persoalan kehidupan manusia tiada lepas dari uang. Dalam rentang panjang sejarah peradaban, manusia bertikai memperebutkan dan berusaha keras mendapatkannya sebanyak mungkin dalam bentuk apa saja uang hadir; batangan emas, keping perak, koin tembaga, uang kertas, atau kulit kerang cowrie. Uang ternyata telah berkembang menjadi fenomena kekuasaan baru. Uang telah menciptakan kekuatan pada dirinya dan dalam sistem ekonomi yang kapitalis uang dapat beranak dan tumbuh lebih cepat dari pertambahan penduduk. Uang seakan punya nyawa dan hidup.
Pada awalnya uang dianggap sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Fungsi uang sebagai alat pertukaran, dimaksudkan untuk mempermudah transaksi ekonomi. Sedangkan sebagai satuan nilai, uang dipergunakan untuk menaksir nilai barang sehingga merepresentasikan currency tertentu. Apabila fungsi uang tetap pada habitatnya sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, maka tidak akan berdampak pada ketidakadilan dan kezaliman dalam mekanisme ekonomi. Fungsi uang sebagai penyimpan nilai (store of value) kemudian rentan terhadap motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan.
Berubahnya fungsi uang sebagai alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi, kemudian mendorong timbulnya pasar uang, disamping pasar barang dan jasa. Masalahnya kemudian, pertumbuhan pada sector moneter tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan dalam sector riel. Pasar uang mengalami perkembangan yang begitu cepat sehingga terlepas dari pasar barang dan jasa. Fakta menunjukkan bahwa hanya 5 % dari transaksi di pasar uang yang terkait dengan transaksi barang dan jasa. Lebih ironis lagi, hanya 45 % dari transaksi di pasar uang yang spot, selebihnya merupakan transaksi forward, futue dan options. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perekonomian dunia dewasa ini digelembungkan oleh transaksi maya yang dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota penting di dunia. Kekuatan pasar uang ini sangat besar dibandingkan kekuatan perekonomian secara keseluruhan. Nilai perdagangan barang dan jasa hanya 1,5 % dari turn over di pasar uang. Dengan kata lain tidak ada hubungan yang linier antara pergerakan pasar uang dengan pergerakan barang dan jasa. Tampak bahwa sektor moneter lebih determinan dan dominan dari sektor riel.[2]
Tampaknya, para ahli sepakat bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri tanpa terkait dengan sektor riel. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar, bagaimankah solusinya?
Permasalahan
Dari deskripsi di atas, tampak ada kesenjangan antara apa yang semestinya (das sollen) diperankan oleh uang sebagai representasi dari fungsi alat pertukaran dengan kenyataan (das sein) bahwa ia telah menjadi komoditi?. Apakah komoditas uang dapat ditolak? Bagaimanaka solusinya?
Uang Perspektif Ekonomi
Dinamika perekonomian dan perputaran uang hanyalah salah satu sisi dari interaksi manusia, dan karenanya ia mencerminkan karakter dan sifat manusia itu sendiri yang bertindak atas dasar harapan dan kecemasannya, rasionalitas, maupun irasionalitasnya terhadap uang. Ekonomi moneter menempatkan uang sebagai factor yang amat menentukan dalam kehidupan ekonomi, baik secara individual maupun dalam kehidupan kolektif, bahkan peranan uang telah menjadi amat menentukan segala aspek kehidupan manusia. Uang telah menjadi segala-galanya. Dalam situasi yang demikian, muncullah fenomena hidup masyarakatyang meletakkan uang sebagai ukuran kebahagiaan, kesuksesan dan kekuasaan. Banyak orang mengejar uang, karena dengan uang ia konon akan mendapatkan kebahagiaan.[3]
Uang sering didefinisikan sebagai alat pertukaran, alat pembayaran yang “sah” dengan mana terjadi transfer nilai dari satu pihak ke pihak lain. Satu pihak menyerahkan produk berupa barang atau jasa, pihak lain (yang membayar) menukar “nilai” produk itu dalam bentuk uang. Pertukaran “nilai” itu bisa juga dalam bentuk barter, namun sesuai dengan perkembangan dalam sejarah manusia, lambat laun manusia belajar bahwa ternyata hal tersebut tidak praktis. Ada proses pertukaran yang lebih praktis, menggunakan uang.[4]
Uang bermutu tinggi ialah uang yang amat dipercayai nilainya sebagai alat tukar. Sejak zaman kuno, peranan pemerintah merupakan salah satu penentu dari terpeliharanya mutu tinggi dari suatu jenis mata uang. Aristoteles, dianggap sebagai perintis teori tentang pengelolaan uang oleh pemerintah. Dalam karyanya beritel “Ethica Nichomachea”, ia menulis: “Money has become by convention ‘money’ (nomina)—because it is exists not only by nature but by law (nomos) and it is in our power to change it and make it useless”. Nilai uang itu tidak ditentukan secara kodrati, melainkan ditentukan oleh hukum yang dibuat oleh manusia sendiri. Kita masih ingat, bagaimana depresiasi nilai rupiah berubah (turun) dalam kaitannya dengan dollar, adalah sebagai akibat dari keputusan pemerintah, baik dalam sanering (kasus Indonesia tahun 1959 dan 1966) maupun devaluasi (kasus tahun 1983 dan 1986). Nilai nominal uang kitapun ditentukan oleh pemerintah, terlepas dari nilai intrinsiknya. Hukum pemerintah (nomos) memberi nama (nomina) kepada uang (nomisma). Nomos memberi nomina kepada nomisma
Abu Hamid al-Ghazali pada saat membahas fungsi uang dalam perekonomian menyatakan bahwa ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi bila kedua belah pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak kedua dan sebaliknya. Al-Ghazali berpendapat bahwa dalam ekonomi barter sekalipun uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi sebagai media pertukaran. Akan tetapi, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna.[5]
Uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan bahwa uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility function).[6] Hanya bila uang itu digunakan untuk membeli barang, maka barang tersebut akan memberikan kegunaan. Dalam teori ekonomi klasik dikatakan bahwa kegunaan uang timbul dari daya belinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendapat aliran klasik tidak jauh berbeda dengan al-Ghazali yang menyatakan bahwa uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.[7] Keberadaan uang pada dasarnya terintegrasi dalam sistem sosial ekonomi yang berlaku. Sehingga value dan jumlah uang bukanlah variabel yang utuh dan berdiri sendiri. Terintegrasinya uang dalam sebuah sistem yang kompleks menjadikan uang tidak independen.[8]
Konsep uang dalam ekonomi Islam berbeda dengan konsep uang dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam, konsep uang sangat jelas dan tegas bahwa uang adalah uang, uang bukan kapital. Sebaliknya, konsep uang yang dikemukakan dalam ekonomi konvensional tidak jelas. Seringkali istilah uang dalam perspektif ekonomi konvensional diartikan secara bolak balik, yaitu baik uang sebagai uang dan uang sebagai kapital. Perbedaan lain adalah bahwa dalam ekonomi Islam, uang adalah sesuatu yang bersifat flowconcept dan capital adalah sesuatu yang bersifat stock concept. Akan tetapi perlu digaris bawahi bahwa meskipun secara umum dapat dibedakan bahwa konsep uang yang dianut oleh konsep ekonomi Islam sebagai flow concept dan ekonomi konvensional menganggap uang sebagai stock concept, namun perlu diingat bahwa ekonom konvensional tidaklah monolitik dalam memandang konsep uang tetapi terbelah menjadi dua kubu, yang pertama aliran flow concept dan yang kedua stock concept.[9]
Persamaan fungsi uang dalam sistem Ekonomi Islam dan Konvensional adalah uang sebagai alat pertukaran (medium of exchange) dan satuan nilai (unit of account). Perbedaannya adalah ekonomi konvensional menambah satu fungsi lagi sebagai penyimpan nilai (store of value) yang kemudian berkembang menjadi motif money demand for speculation, yang merubah fungsi uang sebagai salah satu komoditi perdagangan.[10] Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali telah memperingatkan bahwa “Memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang.” Dan bila semua uang yang ada dipergunakan untuk membeli uang, tidak ada lagi uang yang dapat berfungsi sebagai alat tukar.
Dengan demikian dapat dikatakan telah terjadi pergeseran dari uang sebagai medium of change, store of value menjadi uang sebagai komoditi. Dalam ekonomi islam, uang tidak dapat dijadikan komoditi. Semua transaksi keuangan islami harus mempunyai underlying transction. Boleh saja berbentuk apapun selama ada transaksi barang atau jasa yang melandasi. Transaksi perdangangan uang an sich telah menyebabkan bubble gum economic yang kita rasakan bersama saat ini.
Uang dalam Islam dipandang sebagai alat tukar, bukan suatu komoditi. Diterimanya peranan uang ini secara luas dengan maksud menghapuskan ketidakadilan, dan kezaliman dalam ekonomi tukar menukar. Karena ketidakadilan dalam ekonomi tukar menukar (barter) digolongkan sebagai riba fadl, meskipun peranan uang sebagai alat tukar dapat dibenarkan. Barter merupakan metode penukaran yang tidak praktis dan umumnya menunjukkan banyak kepicikan dalam mekanisme pasar. Dengan demikian diperlukan suatu system penukaran yang tepat guna yang dicari orang sebagai alat tukar. Uang setelah majunya peradaban dikembangkan sebagai ukuran nilai dan alat tukar.[11]
Dengan demikian, dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah suatu barang menjadi barang yang lain. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai mejadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori “Bubble Gum Economic”.
Bagi mereka yang memberlakukan uang sebagai flow concept maka seseorang akan mendapatkan lebih banyak uang jika uang diinvestasikan dalam proses produksi. Dengan demikian, mereka meyakini bahwa pergerakan uang mencerminkan pergerakan di dalam sektor riel dan sebaliknya. Sedangkan bagi mereka yang memberlakukan uang sebagai capital atau sesuatu yang bersifat stock concept maka uang diinvestasikan atau tidak pada proses produksi mereka tetap harus mendapatkan lebih banyak uang.[12] Dengan demikian, mereka berpandangan bahwa pergerakan uang tidak mesti dibarengi oleh pergerakan di sektor riel.
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Dapat saja suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bila hal itu bukan merupakan refleksi dari pesatnya pertumbuhan di sektor produksi, maka uang yang berlimpah itu tidak ada nilainya. Sektor produksilah yang menjadi motor pembangunan, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja dan menimbulkan permintaan atas faktor produksi lainnya.[13] Dengan kata lain, Ibnu Khaldun ingin mengatakan bahwa sektor riel-lah yang menjadi motor penggerak perekonomian.
Penolakan Terhadap Komoditas Uang: Mungkinkah?
Dibutuhkan kereativitas pihak-pihak yang berkecimpung di keuangan islami untuk menghadapi globalisasi keuangan tanpa melanggar prinsip-prinsip syariah sebagaimana yang terjadi pada beberapa dekade ini sehingga menyisakan pekerjaan yang tidak mudah untuk menata perekonomian.
Pasar keuangan selama ini dianggap sebagai pasar yang mempertemukan pihak yang membutuhkan dana (demand for capital) dengan pihak yang menawarkan dananya (supply of capital). Pasar modal sebagai intermediary melaksanakan pengalokasian dana secara efisien dan transparan. Pasar modal menerbitkan beberapa instrument investasi yang memungkinkan diversifikasi portofolio investor dan sumber pembiayaan perusahaan. Memungkinkan masyarakat investor untuk memiliki perusahaan public yang sehat dan berprospek baik.[14]
Dalam rangka mendukung perusahaan keuangan public yang berinvestasi di pasar modal, regulator pasar modal wajib melindungi kepentingan investor tetapi tidak dalam konteks pemberian jaminan ekonomis bahwa berinvestasi di pasar modal tidak akan mengalami kerugian sebagai konsekuensi logis dalam berinvestasi.
International Organisation of Securities Comission (IOSCO) sebagai standars setter industri pasar modal dunia menekankan Guidance terkait dengan aspek perlindungan investor menyatakan bahwa investor harus dilindungi dari informasi yang menyesatkan, manipulasi pasar, dan praktek transaksi efek curang lainnya seperti insider trading. Perlindungan terpenting bagi investor berupa tegaknya prinsip keterbukaan yang berpengaruh terhadap keputusan investasi mereka. Bentuk perlindungan investor lainnya adalah berupa izin secara selektif untuk pihak-pihak yang berkecimpung di pasar modal, termasuk penerbitan standar/aturan berikut aspek pengawasan atas level kepatuhan dari pihak-pihak tersebut terhadap standar/aturan yang berlaku. Jika nyata terjadi pelanggaran, regulator harus melakukan upaya hukum yang tegas guna melindungi kepentingan investor[15]
Peran dan fungsi Bapepam-LK dalam konteks perlindungan investor pasar modal adalah melarang dengan tegas penyebarluasan informasi yang tidak benar/menyesatkan, manipulasi pasar, dan insider trading. Menetapkan aturan main yang mengedepankan tegaknya prinsip transparansi aturan main yang mengedepankan tegaknya prinsip transaparansi di pasar modal. Menetapkan aturan main yang mendahulukan kepentingan investor dalam bertransaksi. Mengoptimalkan aktifitas superviesi terhadap kegiatan pasar dan pihak-pihak yang peranannya terkait langsung dengan perlindungan investor. Meningkatkan kualitas penegakan hukum di pasar modal.
Globaliasi sector keuangan international juga mempunyai hubungan yang signifikan dengan pasar keuangan local. Pada saat pasar keuangan local tidak dapat bebas dari factor-faktor keuangan internasional, maka telah terjadi penetrasi yang bersifat global terhadap pasar keuangan local. Dengan demikian, menolak komiditas uang dalam pasar keuangan internasional dan nasional adalah tidak mungkin.
Riba Sebagai Pemaknaan Sosial:Apa Bisa
Najjar menyatakan bahwa peralangan riba adalah poin penting dalam rangka membebaskan uang ekonomi dari ketidakadilan dan eksploitasi, dan menjadikanya rasional. Hal itu menguatkan pemberlakuan uang sebagai store of value. Pertimbangan-pertimbangan keadilan dan efisiensi menuntut konsep uang berada pada sisi yang netral dan pelarangan bunga adalah dalam rangka mempertahankan netralitas uang tersebut. Banyak bukti yang dapat dikemukakan dalam literatur ekonomi bahwa dampak penimbunan dan memegang uang untuk motif-motif ekonomi spekulatif merupakan sumber masalah ekonomi moneter dan menyebabkan instabilitas nilai uang, fluktuasi dalam out put, dan maldistribusi.[16]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi? Uang menjadi berguna hanya jika ditukar dengan benda yang dinyatakan atau jika digunakan untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa digunakan untuk membeli barang dan jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau diberli secara kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah bahwa tidak hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika barang dagangan atau mata uangnyaadalah sama. Efeknya adalah mencegah bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak diketahui.[17]
Di dalam ekonomi Islam uang bukanlah modal. Sementara ini kita kadang salah kaprah menempatkan uang. Uang kita sama artikan dengan modal (capital). Uang merupakan barang publik (public goods) masayarakat luas. Uang bukan merupakan monopoli seseorang. Jadi semua orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara misalnya. Sementara modal adalah barang pribadi atau orang per orang. Uang harus diberlakukan sebagai flow concept bahwa uang adalah sesuatu yang mengalir sehingga uang diibaratkan seperti air, jika ia mengalir akan bersih dan sehat, tetapi jika air tidak mengalir dengan wajar maka ia akan menjadi busuk dan bau. Dengan demikian, jika uang berputar dengan baik dan produktif maka akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi public. Sementara jika uang ditahan maka dapat menyebabkan macetnya roda perekonomian masyarakat. Dalam ajaran Islam, uang harus diputar terussehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Dengan demikian uang mutlak digunakan untuk investasi di sektor riel. Jika uang disimpan tidak diinvestasikan kepada sektor riel maka tidak akan mendatangkan apa-apa. Penyimpanan uang yang telah mencapai haulnya, menurut ajaran Islam akan dikenai zakat.[18]
Sebagai barang publik (public goods), uang adalah barang untuk masyarakat banyak bukan monopoli perorangan. Sebagai barang umum, maka masyarakat dapat menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena itu, menumpuk uang sangat dilarang, sebab akan mengganggu orang lain untuk menggunakannya.[19]
Akan tetapi perlu disadari bahwa dalam konteks transaski-transaksi keuangan dan perbankan faktor prudential business, regulasi yang jelas, akan lebih efektif dijadikan sarana pemaknaan yang obyektif atas aktifitas keuangan, ketimbang mengedepankan isu-isu yang bersifat ideologis.
Uang Perspektif Sosial-Budaya dan Agama
Menurut Allan Granspan uang hanyalah salah satu sisi dari interaksi manusia, dan karenanya ia mencerminkan karakter dan sifat manusia itu sendiri yang bertindak atas dasar harapan dan kecemasannya, rasionalitas, maupun irasionalitasnya terhadap uang. Pandangan dasar seperti ini tampak juga dalam uraian George Simmel tentang masyarakat dan tentang uang. Masyarakat, bagi Simmel, adalah jumlah total interaksi dan saling ketergantungan antar individu, adalah jumlah ‘gerak’ dan ‘aliran’. Namun, kita sudah terbiasa untuk sering menganggap masyarakat itu sebagai sebuah ‘organisme’, sebagai ‘substansi’, sebagai ‘entitas yang utuh’, padahal—padahal itu semua hanya imagined community. Begitu juga dengan uang. Bagi Simmel, uang bukanlah ‘substansi’ yang pada dirinya sendiri bernilai dan karenanya dapat ditukarkan dengan apa saja. Tidak. Uang pada hakekatnya ialah relasi, yakni relasi pertukaran, yang diwujudkan secara jasmaniah. Uang, dengan kata lain ialah sebuah simbol dari relasi pertukaran.[20]
Hal itu, sesuai dengan definisi uang menurut John Eatwell, Murray Mullgate dan Peter Newman, bahwa: “Money is a social relation. Like the meaning of a word, or the proper form of a ritual, it exists as a part of a system of behaviour shared by a group of people. Thought it is the joint creation of a whole society, money is external to any particular individual, a reality as unyielding to an individual’s will as any natural phenomenon.” Untuk memahami sistem hubungan sosial dimana uang memainkan peranan penting, kita harus memakai perspektif historis komparatif. Sifat khas uang hanya dapat dilihat bila sistem sosial kita dibandingkan dengn sistem sosial yang tidak melibatkan uang. Analisis Karl Marx tentang produksi komoditi memberi kita perspektif itu.
Dalam setiap masyarakat, orang haruslah berproduksi (memproduksi sesuatu) agar dapat bertahan hidup dan mengembangkan diri. Namun cara berproduksi atau berhubungan dalam produksi itu sebenarnya dapat diorganisir melalui berbagai cara yang berbeda satu sama lain. Salah satu dimensi yang membedakan cara-cara berproduksi ini ialah sejauh mana produk yang dihasilkan itu dikontrol oleh individu-individu pemilik (perodusen) yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya. Dalam sistem produksi komoditi, suatu produk yang dihasilkan ialah ‘hak milik’ seorang pemilik, yang dapat ditukarkannya dengan produk yang dimiliki orang lain, mula-mula dengan sistem barter, lalu melalui uang komoditi, dan saat ini akhirnya dengan nominalisme.[21]
Sebagai seorang sosiolog, Simmel juga meletakkan uang dalam perspektif sosiologi. Yang menarik dan relevan disini ialah pernyataan bahwa uang memperbesar kebebasan individu dalam masyarakat dan itu memberi keleluasaan individu untuk, katakanlah, mengaktualkan diri. Semakin luas lingkup sosial, semakin terdiferensiasi masyarakat, semakin ‘terspresialisasi’ pula ‘kewajiban-kewajiban sosial’ yang harus dijalani oleh individu. Bila lingkup sosial kecil, setiap anggota harus mampu mengerjakan banyak hal, diferensiasi dan spesialisasi krja hampir tak ada. Semua orang harus mengerjakan semua. Uang memperluas lingkup sosial karena sifatnya yang ‘impersonal’, karena itu berhubungan dengan semakin ringannya kewajiban sosial.
Uang dalam Islam, menurut pengertian bahasa Arab disebut Maal, asal katanya berarti condong, yang berarti mencondongkan mereka ke arah yang menarik. Uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari emas misalnya, tembaga, perak dan lain-lain.[22] Manusia condong kepadanya karena uang sebagai alat tukar dapat membeli apa yang dibutuhkan, juga sebagai alat menumpuk kekayaan atau menyimpan harta. Manusia dapat memenuhi kebutuhannya secukupnya, tetapi pengaruh uang itu membuat gila pencarinya, rakus mendapatkannya, untuk mendapatkannya manusia lupa hala dan haram. Islam mengatur cara untuk memperoleh uang dengan baik dan mempergunakan uang agar manusia jangan menjadi budak uang.
Berkaitan dengan dorongan uang, Islam menganjurkan umatnya bekerja keras bergiat untuk mencari harta. Islam menyuruh manusia memajukan kepantingan dunia untuk kepentingan akhirat. Dalam al-Qur’an dapat disebutkan, misalnya Surat al-Qasas: 77“janganlah engakau lupa nasib bagianmu di dunia“. Rasulullah bersabda “kemiskinan itu dekat kepada kekufuran“
Sikap etis terhadap uang
Dalam “Ethica Nichomachea”, Aristoteles juga membedakan tiga sikap manusia terhadap uang. Sikap yang seimbang dan etis sebagai “sikap murah hati”, sikap yang merupakan ekses sebagai “sikap boros”, dan sikap yang merupakan kekurangan sebagai “sikap pelit”. Sikap murah hati ialah sikap yang dapat memberikan uang atau apapun yang dapat diuangkan kepada pihak yang tepat dan mau menerima dari pihak yang tepat. Tekanan diberikan pada kata “memberi”, karena ia bermakna lebih aktif daripada kata “menerima”. Sebaliknya sikap pelit memberi tekanan pada kata “menerima” saja.[23]
Erich Fromm, seorang dari generasi pertama Frankfurt School, yang sering dianggap sebagai pakar psikologi sosial, mengembangkan etika humanisme yang antara lain merupakan persenyawaan dari etika Aristoteles, psikoanalisis Freud dan filsafat sosial Marx. Sikap yang sehat menurut Fromm adalah sikap generosity atau sikap murah hati. Sikap ini berhubungan dengan biophily, kecenderungan kepada kehidupan, kepada semua yang hidup, tumbuh dan berkembang, mengalir, bergerak. Orang-orang dari ‘kelas atas’ dan ‘kelas bawah’lah yang memiliki kecenderungan murah hati, atau bahkan juga boros.[24]
Kelas atas, karena mereka memiliki sumber yang berlimpah ruah. Kelas bawah, karena mereka tidak memiliki kecemasan akan “turun kelas” dan tidak melihat kemungkinan untuk “naik kelas”. Nah, kelas menengah, terutama kelas menengah bawah inilah yang, menurut Fromm, paling cenderung untuk menjadi pelit. Mereka berdisiplin diri dengan sangat tidak manusiawi dan sangat pelit, bahkan juga pada diri sendiri, tidak hanya dalam soal keuangan, tetapi bahkan juga pada soalan seksual. Sumber sangat “pas-pasan”, kalau hemat bisa “naik kelas” tetapi kalau murah hati bisa “turun kelas”, padahal dalam dirinya mereka selalu ingin bisa “naik kelas” dan amat cemas sepanjang hidupnya kalau kalau nanti “turun kelas”.
Kesimpulan
Berubahnya fungsi uang sebagai alat pertukaran dan satuan nilai menjadi komoditi menyebabkan perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri tanpa terkait dengan sektor riel. Akan tetapi perlu disadari adalah tidak mungkin menolak komoditas uang yang merupakan fenomena global. Dengan demikian diperlukan usaha-usaha yang kreatif agar mendekatkan permasalahan ini dengan koridor yang dapat dibenarkan dalam perspektif agama, meskipun perlu disadari pula bahwa institusi riba ternyata kurang memadai untuk melakukan pemaknaan social dalam konteks ini. Secara social-budaya dan agama, dapat disimpulkan bahwa uang merupakan salah satu sisi dari interaksi manusia, dan karenanya ia mencerminkan karakter dan sifat manusia itu sendiri yang bertindak atas dasar harapan dan kecemasannya, rasionalitas, maupun irasionalitasnya terhadap uang. Islam mengatur cara untuk memperoleh uang dengan baik dan mempergunakannya dengan baik.

Daftar Pustaka
al-Ghazali. Abu Hamid, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1968.

Asy’ari. Musa, Islam Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: LESFI, 1997.

Bartens. K., Pengantar Etika Bisnis, cet. 5, Yogyakarta: Kanisius, 2005

Luethy. Herbert, "Sekali Lagi: Calvinisme dan Kapitalisme" dalam dennis Wrong (ed.), Max Weber, Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, cet. 1 Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003
Karim. Adiwarman A, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.

Karim. Adiwarman A., Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001.
Karim. Adiwarman A., Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Manullang. M., Ekonomi Moneter, cet. 13 Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993.

Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002.

Nazir. Habib dan M. Hasanuddin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, Bandung: Kaki Langit, 2004.

Rahmany. A. Fuad, “Profil Pasar Modal dan Perlindungan Investor” disampaikan dalam International Seminar on Financial Globalization and Its Effect on Local Market, MM UGM-Yogyakarta, 12 Januari 2008.


Rukhstad. Michael G., Macroeconomic Decission Making in the World Economy; Text and Cases, ed. 3 The Dryden Press, 1992.

Siddiqi. M. Nejatullah, “Islamic Approach to Money, Banking and Money Policy” dalam, Mohammad Ariff (ed)., Monetary and Fiscal Economics of Islam, Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics King Abdulaziz University, 1982.

Suprayitno. Eko, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004.

Luethy. Herbert, "Sekali Lagi: Calvinisme dan Kapitalisme" dalam dennis Wrong (ed.), Max Weber, Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, cet. 1 Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003

[1] Ada dua jenis uang komoditi’, dimana salah satu bentuk komoditi (misalnya emas) dijadikan alat tukar standar. Dan uang fiat, yaitu uang yang nilainya dinyatakan oleh pemerintah yang dianggap sah tanpa ada fondasinya dalam uang standar dan tanpa nilai intrinsik atau nominalnya jauh di atas nilai intrinsik yang tak seberapa dan secara legal memiliki daya kekuatan sebagai alat tukar.

[2] Adiwarman A. KArim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 53

[3] Dikutip dari, Musa Asy’ari, Islam Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: LESFI, 1997, hlm. 51
[4] M. Nejatullah Siddiqi, “Islamic Approach to Money, Banking and Money Policy” dalam, Mohammad Ariff (ed)., Monetary and Fiscal Economics of Islam, Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics King Abdulaziz University, 1982, hlm. 25
[5] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Kairo: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1968, IV:91-93.
[6] M. Manullang, Ekonomi Moneter, cet. 13 (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993), 35
[7] Adiwarman A. KArim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, hlm. 53
[8] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 204
[9] Pertentangan antara kedua kubu tersebut, khususnya kaum monetaris dengan Keyness terletak dalam empat hal, yaitu teori kuantitas, mekanisme transmisi kebijakan moneter, stabilitas velositas uang dan fleksibelitas harga. Lihat Michael G. Rukhstad, Macroeconomic Decission Making in the World Economy; Text and Cases, ed. 3 (The Dryden Press, 1992), hlm. 108. Lihat pula, Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 78
[10] M. Nejatullah Siddiqi, “Islamic Approach to Money, Banking and Money Policy” dalam, Mohammad Ariff (ed)., Monetary and Fiscal Economics of Islam, Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics King Abdulaziz University, 1982, hlm. 26-27
[11] Ibid., hlm. 25
[12] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 80
[13] Adiwarman A. KArim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, 2001, hlm. 55
[14] A. Fuad Rahmany, “Profil Pasar Modal dan Perlindungan Investor” disampaikan dalam International Seminar on Financial Globalization and Its Effect on Local Market, MM UGM-Yogyakarta, 12 Januari 2008.
[15] Ibid.,
[16] M. Nejatullah Siddiqi, “Islamic Approach to Money, Banking and Money Policy” dalam, Mohammad Ariff (ed)., Monetary and Fiscal Economics of Islam, 1982, hlm. 27
[17] Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002, hlm. 37.
[18] Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004, hlm. 198
[19] Ibid, hlm. 199
[20] Dikutip dari, M. Manullang, Ekonomi Moneter, cet. 13 Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993, 35
[21] Ibid.
[22] Habib Nazir dan M. Hasanuddin, Ensiklopedi Ekonomi dan Perbankan Syari’ah, Bandung: Kaki Langit, 2004. hlm. 564
[23] Herbert Luethy, "Sekali Lagi: Calvinisme dan Kapitalisme" dalam dennis Wrong (ed.), Max Weber, Sebuah Khazanah, terj. A. Asnawi, cet. 1 Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2003, hlm. 193
[24] K. Bartens, Pengantar Etika Bisnis, cet. 5, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 32-33

Sabtu, 24 November 2007

DESAKRALISASI HUKUM ISLAM

I

Formulasi hukum Islam,sebagaimana sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Teknik-teknik penjabaran hukum Islam dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, sosial dan politik umat Islam (an-Na’im, 2002:2003).

II

Hukum sebagai salah satu kajian ilmu sosial, mempunyai karakter yang sangat dinamis seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Selain dibentuk oleh masyarakat, hukum juga membentuk masyarakat. Secara sosiologis hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini sebagai suatu pranata dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini berarti muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang bersifat kekinian melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.

Pemikiran di atas menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya. Jadi hukum merupakan sarana untuk ketertiban dan kesejahteraan, atau hukum harus mencerminkan apa yang dianggap baik serta harus mengindikasikan suatu perencanaan, rekayasa atau perakitan masyarakat yang dicita-citakan, atau dalam istilah Rescoe Pound “law as tool of social engineering” (Wahyono, 1992: 43).

Berbeda dengan struktur dasar hukum lain yang bercirikan man made-law, hukum Islam (fiqh) lebih dipahami dan lebih berimplikasi religios-law, dengan demikian sering diidentikkan dengan wahyu Allah yang mutlak dan suci, meskipun pada hakikatnya merupakan hasil ijtihad fuqaha atau mujtahid 14 abad yang lalu.

Disadari bahwa nas dari wahyu sangat terbatas, sedangkan persoalan dan permasalahan yang timbul akan selalu berkembang. Lalu muncul pertanyaan, apakah harus membiarkan perkembangan dan perubahan sosial tanpa peru ada upaya hukumnya? Atau, keadaan sosio kultural yang sudah sangat cepat berubah itu harus diberi hukum yang sama dengan ketika hukum pertama kali ditemukan, baik oleh ulama perseorangan maupun oleh mazhab?.

Dari pemikiran-pemikiran di atas, muncul pembahasan mengenai perlunya reinterpretasi terhadap nas wahyu, ijtihad kembali, redefinisi bermazhab, dan semacamnya. Dengan kata lain, kebnayakan ulama dan pemikir Islam menghendaki tetap adanya hukum Islam yang mampu memberi solusi dan jawaban terhadap perubahan sosial. Dan di sinis pula terjadi upaya melakukan ijtihad di masa modern, termasuk metodologi apa yang biasanya dilakukan dalam msyarakat modern ini (Anderson, 1976).

Inti yang hampir disepakati bahwa hukum Silam pada hakikatnya untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia, yang harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Dan denagan kemungkinan perubahan hukum Ilsam ini, maka sangat mungkin untuk terjadinya eklektisisme dengan sistem hukum yang lain (Azizy, 2002: 32).

Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralisem sosial budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan negara. Jika kita lihat keadaan yang ada di masa yang sangat awal, maka jelaslah peran dan pengaruh elemen-elemen sosial budaya terhadap ulama untuk menentukan atau menemukan hukum Islam. Dengan demikian, kondisi masyarakat yang ada akan berpengaruh terhadap pemikiran ataupun desakralisasi hukum Islam.

Ungkapan bahwa hukum Islam adalah hukum suci, hukum Tuhan, Syari’at Allah dan semcamnya sering kita dengar. Demikian pula anggapan bahwa hukum Islam itu pasti benar dan di atas segala-galanya juga tidak jarang kita dengan. Dalam waktu bersamaan, juga sering terjadi apoloti di kalangan sarjana Muslim dengan mengatakan bahwa hukum Islam itu lebih baik dari hukum umum, tanpa sanggup memberi contoh konkrit. Di sini tampak tidak adanya kejelasanposisi dan wilayah antara istilah hukum Islam, yang pada praktiknya identik dengan hasil ijtihad mujtahid, dan Syari’ah Allah yang dalam arti konkritnya adalah wahyu yang murni yang posisinya di luar jangakaun manusia.

Pengaburan istilah antara hukum Islam, hukum Syari’ah atau Syar’I atau bahkan Syari’ah Islam pada hikkatnya tidak ada masalah. Namun pengaburan esensi dan posisi antara hukum Islam yang identik dengan fiqh, karena merupakan hasil ijtihad, dengan Syari’ah yang identik dengan wahyu yang berati di luar jangkauan manusia adalah masalah besar yang harus diluruskan dan diletakkan pada posisi yang seharusnya (Azizy, 2002: 49).

Kalau kita sepakat bahwa hukum Islam merupakan hasil ijtihad ulama, maka suatu hal yang wajar jika seorang mujtahid dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang manusiawi yang berada di luar kesucian wahyu itu sendiri. Oleh karena itu, faktor sosial budaya, termasuk politik, yang melingkupi mujtahid menjadi elemen yang tidak dapat diabaikan ketika kitan menganalisis hukum Islam. Karena elemen-elemen semacam inilah, maka terjadi perbedaan mazhab di masa klasik yang didasarkan pawa wilayah, seperti mazhab Hijaz, mazhab Irak, dan mazhab Syam. Dalam menganalisis hal semacam ini, seharusnya dipahami bahwa pengaruh tadi tidak secara langsung kepada hukum Islam, melainkan pengaruh tersebut lebih kepada ulama atau mujtahid yang melakukan ijtihad untuk menemukan hukum Islam tersebut (Azizy, 2002).

Pada sisi lain, kita juga didhadapkan pada pembahasan mengenai istilah suci untuk hukum Islam, sebagaimana sering kita dengar dan sering disampaikan oleh banyak pendukung hukum Islam (dalam tataran politis), maupun ketika membadingkannya dengan hukum lain.

Pertanyaannya adalah apakah hukum Islam itu absolut dan suci? Jawabnya, yang mendapatkan kesepakatan adalah bahwa yang absolut dan suci dalam pengertian tidak terpengaruh oleh sosiokultural itu dalil atau sumber tamanya itu, yakni wahyu Allah. Sedangkan hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad ulama jelas bukanlah hal yang absolut atau mutlak atau suci, namun tetap mengandung kemungkinan berubah zanni atau nisbi. Artinya, sesuatu yang mungkin mengandung kesalahan, sekaligus mungkin untuk dikaji ulang dan diadakan desakralisassi atau rekonstruksi. Kalau pada kenyataannya bahwa esesni hukumnya itu merupakan hasil interpretasi terhadap nas, maka jelaslah suatu hal yang wajar apabila interpretasi itu dapat dilakukan re-interpretasi atau interpretasi ulang (Azizy, 2002).

Hal-hal itulah sebagai konsekuensi dari kedudukan zanni itu, yang sangat mungkin menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam menentukan atau menemukan hukum Islam terhadap suatu kasus.

At-Tufi, misalnya ketika melihat bahwat teks-teks yang dipandang sebagai hukum atau mengikat berdasar pada otoritas interpretasi hukum atau pada otoritas tradisi-tradisi yang diduga kuat berasal dari Nabi, - yang ditersebut terakhir ini dipandang sebagai suci atau otentik oleh kaum muslimin secara keseluruhan atau para ulama yang menolak validitasnya karena murni dipalsukan, baik sikap pertama ataupun sikap yang kedua bagi Tufi bisa menimbulkan kepada kerugian sosial, apalagi oleh adanya konsesus yang sektarian dari berbagai mazhab hukum yang saling berlawanan atau para pengikut tradisional mereka (Al-‘Amiri, 1993: xvi).

Oleh karena itu at-Tufi menyatakan bahwa baik teks maupun sumber hukum tradisional yang lain, termasuk konsesus hukum dan analogi, merupakan sumber hukum yang memaksa baik secara rasional maupun secara hukum. Paling jauh menurut Tufi, sumber hukum tersebut bisa dipertimbangkan ketika berkesesuaian dengan perlindungan dan pernghargaan terhadap kemaslahatan umat manusia. Sebab, menurutnya perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan sumber atau prinsip hukum paling tinggi dan paling kokoh, yang merupakan tujuan utama agama dan poros utama dari maksud syari’ah (Al-’Amiri, 1993).

Agama ataupun shari’ah, kerana dilihat amat terbatas jumlah teksnya, bergerak dalam ruanglingkupnya yang tersendiri dan akal mempunyai peranan dalam kerangka yang lebih luas yang dapat memastikan kerelevanan agama dalam dunia masa kini. Oleh kerana itu kontradiksi berlaku di antara dua aliran pemikiran modenis atau Islam Liberal dan ramai ulama’ dan pemikir Islam yang meletakkan syarat penggunaan akal fikiran agar tidak bertentangan dengan mana-mana teks al-Qur’an dan al-Sunnah.

Bagi kelompok modernis islam apabila pertentangan di antara keduanya berlaku, maka teks al-Qur’an ini perlu ditafsirkan melalui kaedah hermeneutik ataupun melalui pemahaman substantif agar tidak lagi terpaku kepada pemahaman literal terhadap shari’ah, akan tetapi pemahaman yang Liberal. Berangkat dari metodologi dan cara berfikir inilah, tidak sedikit daripada mereka yang hanya melihat daripada shari’ah itu nilai-nilai universal yang ada di dalamnya.

At-Tufi menunjukkan bahwa perlindungan terhadap kemaslahatan manusia adalah tujuan dari agama Islam dan merupakan sumber utama tujuannya (maqasid al-Syari’ah). Baginya perlindungan terhadap kemaslahatan manusia sebagai tujuan di balik semuat aturan-aturan hukum, di balik petunjuk Tuhan dan penciptaan maunisa serta cara-cara dan sarana-sarana untuk memperoleh kebahagiaan mereka..

At-Tufi berkesimpulan, karena Tuhan telah memperlihatkan kemaslahatan umum manusia, pada awal penciptaan mereka dari ketiadaan, dengan menyeru mereka menuju kehidupan dalam iman atau bimbinganNya, maka tidak mungkin Dia mengabaikan pertimbangan terhadap perlindungan kemaslahatan hukum mereka. Sebab sebagaimana ia tunjukkan, kemaslahatan hukum lebih umum dan lebih patut mendapatkan perhatian dariNya. Lebih-lebih, ia juga merupakan bagian dari kesalahatan mata pencaharian hidup dan sara-sarana untuk melindungi hidupa, harta dan kehormatan. Karena itulah ia sekali lagi menekankan, jika teks-teks keagamaan dan ijmak sejalan dengannya, maka semua akan baik-baik saja dan tiak akan muncul problem. Tetapi, jika di antara teks-teks tersebut terdapat pertentangan, maka kemaslahatan harus diberi prioritas di atas keduanya. Sebab ia menandaskan, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia lebih kuat, lebih meyakinkan dan lebih menentukan daripada teks-teks atau ijmak.

Dengan demikian dapat igaris bawahi bahwa ideal moral yang dituju oleh Syari’ah berupa merealisasikan maqasid al-Syari’ah lebih dapat dikatakan suci dan abadi daripada interpretasi temporal yang dilakukan oleh para mujtahid terhadap teks-teks hukum Islam. Dalam Islam ijtihad ulama’ tidak mutlak kebenarannya. Oleh itu pandangan ulama’ tidak semestinya benar. Pandangan ulama’ hanya boleh diterima sekiranya terbukti sesuai dengan kehendak syari’ah dan dipersetujui kebenarannya. Di sinilah dalam tradisi Islam kita mengenal konsep qawl al-jumhur (pandangan majoriti), dan ijma' (kesepakatan ilmuwan) dan konsep ini sangat penting dalam tradisi keilmuan Islam.

Menurut an-Na’im perlunya syari’at Islam khususnya Islamic public law dirubah karena teks agama tidak perlu diikuti secara literal. Bahkan beliau mengatakan bahwa pelaksanaan hukum Islam pada saat ini hanya akan memberi kesan counter-productive. Karena pelaksanaannya sangat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Al-Na'im menjelaskan:

"I have shown that Shari'a was in fact constructed by Muslim jurists over the first three centuries of Islam. Although derived from the fundamental divine sources of Islam, the Qur'an and Sunna, Shari'a is not divine because it is the product of human interpretation of those sources. Moreover, this process of construction through human interpretation took place within a specific historical context which is drastically different from our own. It should therefore be possible for contemporary Muslims to undertake a similar process of interpretation and application of the Qur'an and Sunna in the present historical context to develop an alternative public law of Islam which is appropriate for implementation today".

.

Daftar Pustaka

Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah (terjemahan). Yogyakarta, LkiS, 2002.

Ahmad Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta, Gama Media, 2002.

Abdullah M. al-Husyan al-‘Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Ddin Thufi, (Terjemahan). Jakarta: Gaya Media Pratama, 2004

Norman Anderson, Law Reform in Muslim World, London, The Athlon Press, 1976

PREFERENSI NASABAH

  1. Analisis

Metawa dan Almossawi (1998), dalam penelitian yang dilakukannya menemukan bukti bahwa keputusan nasabah dalam memilih bank adalah lebih didorong karena faktor agama, di mana nasabah lebih menekankan pada ketaatan terhadap ajaran-ajaran agama. Selanjutnya, baru didorong oleh faktor-faktor keuntungan yang bersifat ekonomis, dorongan keluarga dan teman dan lain-lain. Erol et. Al. dalam penelitiannya menemukan bahwa faktor yang mendorong nasabah memilih bank Syari’ah karena, motif keuntungan, cepat dan efisiennya pelayanan, dan reputasi dan kesan yang baik atau motif-motif ekonomis. Dari hal-hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa disamping didorong oleh preferensi yangbersifat agamis, terdapat pula dorongan atau preferensi yang bersifat ekonomis yang menjadi faktor nasabah menabung di bank Syari’ah, disamping ada beberapa faktor lain, atas dorongan keluarga misalnya.

Di dalam penelitian ini, diduga ada perbedaan preferensi agamis, ekonomis, dan faktor lain seorang nasabah menabung dan menggunakan jasa perbankan lainnya di BMI Palembang. Analisis ditujukan untuk mengetahui ada atau tidak perbedaan yang signifikan antara preferensi agamis, ekonomis dan faktor lain dalam menabung di bank BMI Palembang tersebut’.

2. Hipotesis

Ho = Ada perbedaan yang signifikan antara preferensi agama, ekonomi dan factor lain dalam menabung di bank Syari’ah.

Hi = Tidak perbedaan yang signifikan antara preferensi agama, ekonomi dan factor lain dalam menabung di bank Syari’ah

2. Metodologi

Pada mulanya penelitian ini dilakukan di Palembang. Penelitian dilakukan dengan tiga tahap. Pada tahap pertama, suatu revieu literature yang komprehensif dilakukan. Pada tahap kedua, Guna mengetahui pengetahuan responden terhadap bank syari’ah yang dipilih dalam menggunakan jasa keuangannya, maka dianggap perlu utuk mengetahui latar belakang yang mendorong responden menabung di bank syari’ah. Pada tahap ketiga, dilakukan identifikasi terhadap faktor-faktor yang mendorong nasabah menabung di banks Syari’ah. Dari identifikasi yang dilakukan dapat dikelompokkan tiga variabel, yaitu variabel agamis, variabel ekonomis dan adanya factor lain yang mendorong nasabah menabung di BMI dan BSM (sesuai dengan item-item yang terdapat dalam kuesioner). Alat analisis yang yang digunakan untuk menguji apakah secara signifikan ada perbedaan antara dua atau lebih mean sample yang diperbandingkan adalah analysis of variance. Dengan menggunakan alat analisis Anova ini, akan dapat ditarik kesimpulan apakah sample yang digunakan tersebut berasal dari populasi yang memiliki mean yang sama. Penggunaan Anova memiliki asumsi bahwa setiap sample diperoleh dari populasi norma (distribusi normal) dan setiap populasi tersebut memiliki varians yang sama. Oleh karena itu, berikut ini disajikan hasil dari uji normalitas data dan homogeneity of variance.



Test of Homogeneity of Variances


nasabah

Levene Statistic

df1

df2

Sig.

6.382

2

42

.004


Dasar pengambilan keputusan dalam melakukan Test of Homogeneity of Variances adalah jika probabilitas <0,05> 0,05 maka ketiga varian adalah tidak identik. Dari table levene statistic di atas, terlihat bawa Levene Tes hitung adalah 6.382 dengan nilai probabilitas 0,004 maka Ho ditolak. Dengan demikian telah terpenuhi uji homogeneity of variances dalam kasus ini.

  1. Deskripsi Data

Setelah dilakukan olah data terhadap raw material yang diperoleh dari penyebaran kuesioner penelitian diperoleh distribusi data sebagaimana berikut:

Preferensi Agamis

Preferensi Ekonomis

Faktor lain

1

23


2

23


3

37

1

31


2

24


3

23

1

23


2

25


3

19

1

34


2

21


3

18

1

36


2

23


3

17

1

37


2

24


3

20

1

38


2

25


3

22

1

39


2

26


3

15

1

40


2

27


3

16

1

41


2

32


3

19

1

42


2

45


3

20

1

43


2

40


3

21

1

21


2

41


3

22

1

20


2

39


3

23

1

22


2

38


3

24



  1. Hasil Analisis

Descriptives


nasabah


N

Mean

Std. Deviation

Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum

Maximum






Lower Bound

Upper Bound



agama

15

32.6667

8.52447

2.20101

27.9460

37.3874

20.00

43.00

ekonomi

15

30.2000

8.10820

2.09353

25.7098

34.6902

21.00

45.00

lain

15

21.0667

5.14735

1.32904

18.2162

23.9172

15.00

37.00

Total

45

27.9778

8.82787

1.31598

25.3256

30.6300

15.00

45.00


Penelitian yang dilakukan ingin melihat apakah nasabah memliki perbedaan preferensi dalam menabung di bank Syari’ah. Pada bagian pertama terlihat ringkasan statistic descriptif dari tiga varian preferensi (sample), yaitu preferensi agama, ekonomi dan factor lain yang melatarbelakangi seorang nasabah menabung di bank Syari’ah. Sebagai contoh preferensi agama rata-rata (mean) sebesar 32.6667. Preferensi minimum adalah 20.00 dan maksimum 43.00. dengan tingkat kepercayaan 95 % atau signifikansi 5 %, rata-rata preferensi (mean) berada pada range 27.9460 sampai dengan 37.3874 point. Demikian pula penjelasannya untuk data yang lain.

ANOVA


nasabah


Sum of Squares

df

Mean Square

F

Sig.

Between Groups

1120.311

2

560.156

10.191

.000

Within Groups

2308.667

42

54.968



Total

3428.978

44





Setiap nasabah didorong oleh factor agama, ekonomi dan factor lain dalam menabung di bank Syari’ah. Hasil dari uji Anova berdasarkan setiap variable preferensi (tiga variable penelitian: variable ekonomis, agama dan factor lain), dapat dilihat dari table uji Anova di atas. Berdasarkan hasil yang telihat pada table Anova di atas, dapat disimpulkan bahwa factor-faktor yang mendorong nasabah menabung di bank Syari’ah secara signifikan ada yang berbeda dan ada pula yang tidak. Hasil kesimpulan tersebut dapat dilihat dari nilai F tes yang diperoleh yang dibandingkan dengan F table.

Dasar pengambilan keputusan sama dengan uji F (Anova),yaitu jika statistic hitung (angka F output) > Statistik Tabel (table F), Ho ditolak. Apabila Statistik hitung (angka F output) <>

Setelah diketahui ada perbedaan yang signifikan preferensi yang melatarbelakangi nasabah menabung di bank Syari’ah, maka akan dilihat lebih jauh preferensi yang mana saja yang berbeda. Hal ini akan dibahas pada analisis Bonferroni dan Tukey dalam Post Hoc Test berikut ini:













Post Hoc Test


Multiple Comparisons


Dependent Variable: nasabah


(I) preferensi

(J) preferensi

Mean Difference (I-J)

Std. Error

Sig.

95% Confidence Interval







Lower Bound

Upper Bound

Tukey HSD

agama

ekonomi

2.46667

2.70723

.636

-4.1105

9.0439



lain

11.60000(*)

2.70723

.000

5.0228

18.1772


ekonomi

agama

-2.46667

2.70723

.636

-9.0439

4.1105



lain

9.13333(*)

2.70723

.004

2.5561

15.7105


lain

agama

-11.60000(*)

2.70723

.000

-18.1772

-5.0228



ekonomi

-9.13333(*)

2.70723

.004

-15.7105

-2.5561

Bonferroni

agama

ekonomi

2.46667

2.70723

1.000

-4.2843

9.2176



lain

11.60000(*)

2.70723

.000

4.8491

18.3509


ekonomi

agama

-2.46667

2.70723

1.000

-9.2176

4.2843



lain

9.13333(*)

2.70723

.005

2.3824

15.8843


lain

agama

-11.60000(*)

2.70723

.000

-18.3509

-4.8491



ekonomi

-9.13333(*)

2.70723

.005

-15.8843

-2.3824

  • The mean difference is significant at the .05 level.



Sebagai contoh, dapat dilihat pada baris pertama hasil uji Tukey HSD yang menguji perbedaan preferensi pertama dan preferensi kedua. Pada kolom Mean Differenence atau perbedaan rata-rata diperoleh angka 2.46667. angka ini berasal dari Mean Pref agama – Mean Pref ekonomis atau 32.6667-30.2000 unit atau 2.46667 unit (lihat output desriptive statistics). Pada kolom 95 % confidence interval, terlihat range perbedaan Mean tersebut berkisar antara 9.0439 sampai -4.1105. Uji Signifikansi perbedaan Mean antara preferensi agama dan preferensi ekonomis, terlihat tidak signifikan karena outputnya adalah 0.636, dengan demikian maka Ho ditolak. Akan tetapi, perbedaan menjadi signifikan jika dibandingkan antara preferensi Agama dan factor lain. Demikian seterusnya.


Homogeneous Subsets

nasabah


preferensi

N

Subset for alpha = .05


1

2

Tukey HSD(a)

lain

15

21.0667



ekonomi

15


30.2000


agama

15


32.6667


Sig.


1.000

.636

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 15.000.

Apabila tes Tukey dan Bonferroni digunakan untuk menguji mana saja yang memiliki perbedaan nyata, maka dalam homogeneous Subset justru akan dicari group atau subset mana saja yang mempunyai perbedaan rata-rata yang tidak berbeda secara signifikan. Pada subset pertama terlihat hanya variable preferensi lain yang memiliki perbedaan dengan subset yang lainnya. Sedangkan antara subset agama dan ekonomi tidak begitu mempunyai perbedaan.

  1. Interpretasi dan Implikasi

Kesimpulan tersebut di atas mengindikasikan bahwa nasabah mempertimbangkan dua preferensi sekaligus dalam menabung di bank Syari’ah yakni disamping didorong oleh preferensi agama, juga didorong oleh preferensi atau motif-motif ekonomis. Dengan demikian, pada masa-masa yang akan datang perlu dipertimbangkan oleh bank Syari’ah disamping memenuhi standar kesyari’ahannya juga perlu memberikan insentif-insentif ekonomis untuk menarik simpati nasabah agar mereka menggunakan fasilitas bank Syari’ah.