I
Formulasi hukum Islam,sebagaimana sistem perundang-undangan lainnya, mengikuti tahap-tahap perkembangan umat. Teknik-teknik penjabaran hukum Islam dari sumber sucinya dan cara-cara penyusunan konsep dan prinsip fundamentalnya, jelas merupakan produk proses sejarah intelektual, sosial dan politik umat Islam (an-Na’im, 2002:2003).
II
Hukum sebagai salah satu kajian ilmu sosial, mempunyai karakter yang sangat dinamis seiring dengan perkembangan masyarakatnya. Selain dibentuk oleh masyarakat, hukum juga membentuk masyarakat. Secara sosiologis hukum merupakan refleksi tata nilai yang diyakini sebagai suatu pranata dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ini berarti muatan hukum selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang, bukan hanya yang bersifat kekinian melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi dan politik di masa depan.
Pemikiran di atas menunjukkan bahwa hukum bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mampu mendinamisasikan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam mencapai cita-citanya. Jadi hukum merupakan sarana untuk ketertiban dan kesejahteraan, atau hukum harus mencerminkan apa yang dianggap baik serta harus mengindikasikan suatu perencanaan, rekayasa atau perakitan masyarakat yang dicita-citakan, atau dalam istilah Rescoe Pound “law as tool of social engineering” (Wahyono, 1992: 43).
Berbeda dengan struktur dasar hukum lain yang bercirikan man made-law, hukum Islam (fiqh) lebih dipahami dan lebih berimplikasi religios-law, dengan demikian sering diidentikkan dengan wahyu Allah yang mutlak dan suci, meskipun pada hakikatnya merupakan hasil ijtihad fuqaha atau mujtahid 14 abad yang lalu.
Disadari bahwa nas dari wahyu sangat terbatas, sedangkan persoalan dan permasalahan yang timbul akan selalu berkembang. Lalu muncul pertanyaan, apakah harus membiarkan perkembangan dan perubahan sosial tanpa
Dari pemikiran-pemikiran di atas, muncul pembahasan mengenai perlunya reinterpretasi terhadap nas wahyu, ijtihad kembali, redefinisi bermazhab, dan semacamnya. Dengan kata lain, kebnayakan ulama dan pemikir Islam menghendaki tetap adanya hukum Islam yang mampu memberi solusi dan jawaban terhadap perubahan sosial. Dan di sinis pula terjadi upaya melakukan ijtihad di masa modern, termasuk metodologi apa yang biasanya dilakukan dalam msyarakat modern ini (
Inti yang hampir disepakati bahwa hukum Silam pada hakikatnya untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia, yang harus selalu sesuai dengan tuntutan perubahan, sehingga selalu diperlukan ijtihad dan ijtihad baru. Dan denagan kemungkinan perubahan hukum Ilsam ini, maka sangat mungkin untuk terjadinya eklektisisme dengan sistem hukum yang lain (Azizy, 2002: 32).
Salah satu faktor yang memungkinkan terjadinya pembaruan hukum Islam adalah pengaruh kemajuan dan pluralisem sosial budaya dan politik dalam sebuah masyarakat dan negara. Jika kita lihat keadaan yang ada di masa yang sangat awal, maka jelaslah peran dan pengaruh elemen-elemen sosial budaya terhadap ulama untuk menentukan atau menemukan hukum Islam. Dengan demikian, kondisi masyarakat yang ada akan berpengaruh terhadap pemikiran ataupun desakralisasi hukum Islam.
Ungkapan bahwa hukum Islam adalah hukum suci, hukum Tuhan, Syari’at Allah dan semcamnya sering kita dengar. Demikian pula anggapan bahwa hukum Islam itu pasti benar dan di atas segala-galanya juga tidak jarang kita dengan. Dalam waktu bersamaan, juga sering terjadi apoloti di kalangan sarjana Muslim dengan mengatakan bahwa hukum Islam itu lebih baik dari hukum umum, tanpa sanggup memberi contoh konkrit. Di sini tampak tidak adanya kejelasanposisi dan wilayah antara istilah hukum Islam, yang pada praktiknya identik dengan hasil ijtihad mujtahid, dan Syari’ah Allah yang dalam arti konkritnya adalah wahyu yang murni yang posisinya di luar jangakaun manusia.
Pengaburan istilah antara hukum Islam, hukum Syari’ah atau Syar’I atau bahkan Syari’ah Islam pada hikkatnya tidak ada masalah. Namun pengaburan esensi dan posisi antara hukum Islam yang identik dengan fiqh, karena merupakan hasil ijtihad, dengan Syari’ah yang identik dengan wahyu yang berati di luar jangkauan manusia adalah masalah besar yang harus diluruskan dan diletakkan pada posisi yang seharusnya (Azizy, 2002: 49).
Kalau kita sepakat bahwa hukum Islam merupakan hasil ijtihad ulama, maka suatu hal yang wajar jika seorang mujtahid dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang manusiawi yang berada di luar kesucian wahyu itu sendiri. Oleh karena itu, faktor sosial budaya, termasuk politik, yang melingkupi mujtahid menjadi elemen yang tidak dapat diabaikan ketika kitan menganalisis hukum Islam. Karena elemen-elemen semacam inilah, maka terjadi perbedaan mazhab di masa klasik yang didasarkan pawa wilayah, seperti mazhab Hijaz, mazhab Irak, dan mazhab Syam. Dalam menganalisis hal semacam ini, seharusnya dipahami bahwa pengaruh tadi tidak secara langsung kepada hukum Islam, melainkan pengaruh tersebut lebih kepada ulama atau mujtahid yang melakukan ijtihad untuk menemukan hukum Islam tersebut (Azizy, 2002).
Pada sisi lain, kita juga didhadapkan pada pembahasan mengenai istilah suci untuk hukum Islam, sebagaimana sering kita dengar dan sering disampaikan oleh banyak pendukung hukum Islam (dalam tataran politis), maupun ketika membadingkannya dengan hukum lain.
Pertanyaannya adalah apakah hukum Islam itu absolut dan suci? Jawabnya, yang mendapatkan kesepakatan adalah bahwa yang absolut dan suci dalam pengertian tidak terpengaruh oleh sosiokultural itu dalil atau sumber tamanya itu, yakni wahyu Allah. Sedangkan hukum Islam yang merupakan hasil ijtihad ulama jelas bukanlah hal yang absolut atau mutlak atau suci, namun tetap mengandung kemungkinan berubah zanni atau nisbi. Artinya, sesuatu yang mungkin mengandung kesalahan, sekaligus mungkin untuk dikaji ulang dan diadakan desakralisassi atau rekonstruksi. Kalau pada kenyataannya bahwa esesni hukumnya itu merupakan hasil interpretasi terhadap nas, maka jelaslah suatu hal yang wajar apabila interpretasi itu dapat dilakukan re-interpretasi atau interpretasi ulang (Azizy, 2002).
Hal-hal itulah sebagai konsekuensi dari kedudukan zanni itu, yang sangat mungkin menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat (ikhtilaf) dalam menentukan atau menemukan hukum Islam terhadap suatu kasus.
At-Tufi, misalnya ketika melihat bahwat teks-teks yang dipandang sebagai hukum atau mengikat berdasar pada otoritas interpretasi hukum atau pada otoritas tradisi-tradisi yang diduga kuat berasal dari Nabi, - yang ditersebut terakhir ini dipandang sebagai suci atau otentik oleh kaum muslimin secara keseluruhan atau para ulama yang menolak validitasnya karena murni dipalsukan, baik sikap pertama ataupun sikap yang kedua bagi Tufi bisa menimbulkan kepada kerugian sosial, apalagi oleh adanya konsesus yang sektarian dari berbagai mazhab hukum yang saling berlawanan atau para pengikut tradisional mereka (Al-‘Amiri, 1993: xvi).
Oleh karena itu at-Tufi menyatakan bahwa baik teks maupun sumber hukum tradisional yang lain, termasuk konsesus hukum dan analogi, merupakan sumber hukum yang memaksa baik secara rasional maupun secara hukum. Paling jauh menurut Tufi, sumber hukum tersebut bisa dipertimbangkan ketika berkesesuaian dengan perlindungan dan pernghargaan terhadap kemaslahatan umat manusia. Sebab, menurutnya perlindungan terhadap kemaslahatan manusia merupakan sumber atau prinsip hukum paling tinggi dan paling kokoh, yang merupakan tujuan utama agama dan poros utama dari maksud syari’ah (Al-’Amiri, 1993).
Agama ataupun shari’ah, kerana dilihat amat terbatas jumlah teksnya, bergerak dalam ruanglingkupnya yang tersendiri dan akal mempunyai peranan dalam kerangka yang lebih luas yang dapat memastikan kerelevanan agama dalam dunia masa kini. Oleh kerana itu kontradiksi berlaku di antara dua aliran pemikiran modenis atau Islam Liberal dan ramai ulama’ dan pemikir Islam yang meletakkan syarat penggunaan akal fikiran agar tidak bertentangan dengan mana-mana teks al-Qur’an dan al-Sunnah.
Bagi kelompok modernis islam apabila pertentangan di antara keduanya berlaku, maka teks al-Qur’an ini perlu ditafsirkan melalui kaedah hermeneutik ataupun melalui pemahaman substantif agar tidak lagi terpaku kepada pemahaman literal terhadap shari’ah, akan tetapi pemahaman yang Liberal. Berangkat dari metodologi dan cara berfikir inilah, tidak sedikit daripada mereka yang hanya melihat daripada shari’ah itu nilai-nilai universal yang ada di dalamnya.
At-Tufi menunjukkan bahwa perlindungan terhadap kemaslahatan manusia adalah tujuan dari agama Islam dan merupakan sumber utama tujuannya (maqasid al-Syari’ah). Baginya perlindungan terhadap kemaslahatan manusia sebagai tujuan di balik semuat aturan-aturan hukum, di balik petunjuk Tuhan dan penciptaan maunisa serta cara-cara dan sarana-sarana untuk memperoleh kebahagiaan mereka..
At-Tufi berkesimpulan, karena Tuhan telah memperlihatkan kemaslahatan umum manusia, pada awal penciptaan mereka dari ketiadaan, dengan menyeru mereka menuju kehidupan dalam iman atau bimbinganNya, maka tidak mungkin Dia mengabaikan pertimbangan terhadap perlindungan kemaslahatan hukum mereka. Sebab sebagaimana ia tunjukkan, kemaslahatan hukum lebih umum dan lebih patut mendapatkan perhatian dariNya. Lebih-lebih, ia juga merupakan bagian dari kesalahatan mata pencaharian hidup dan sara-sarana untuk melindungi hidupa, harta dan kehormatan. Karena itulah ia sekali lagi menekankan, jika teks-teks keagamaan dan ijmak sejalan dengannya, maka semua akan baik-baik saja dan tiak akan muncul problem. Tetapi, jika di antara teks-teks tersebut terdapat pertentangan, maka kemaslahatan harus diberi prioritas di atas keduanya. Sebab ia menandaskan, perlindungan terhadap kemaslahatan manusia lebih kuat, lebih meyakinkan dan lebih menentukan daripada teks-teks atau ijmak.
Dengan demikian dapat igaris bawahi bahwa ideal moral yang dituju oleh Syari’ah berupa merealisasikan maqasid al-Syari’ah lebih dapat dikatakan suci dan abadi daripada interpretasi temporal yang dilakukan oleh para mujtahid terhadap teks-teks hukum Islam. Dalam Islam ijtihad ulama’ tidak mutlak kebenarannya. Oleh itu pandangan ulama’ tidak semestinya benar. Pandangan ulama’ hanya boleh diterima sekiranya terbukti sesuai dengan kehendak syari’ah dan dipersetujui kebenarannya. Di sinilah dalam tradisi Islam kita mengenal konsep qawl al-jumhur (pandangan majoriti), dan ijma' (kesepakatan ilmuwan) dan konsep ini sangat penting dalam tradisi keilmuan Islam.
Menurut an-Na’im perlunya syari’at Islam khususnya Islamic public law dirubah karena teks agama tidak perlu diikuti secara literal. Bahkan beliau mengatakan bahwa pelaksanaan hukum Islam pada saat ini hanya akan memberi kesan counter-productive. Karena pelaksanaannya sangat bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Al-Na'im menjelaskan:
"I have shown that Shari'a was in fact constructed by Muslim jurists over the first three centuries of Islam. Although derived from the fundamental divine sources of Islam, the Qur'an and Sunna, Shari'a is not divine because it is the product of human interpretation of those sources. Moreover, this process of construction through human interpretation took place within a specific historical context which is drastically different from our own. It should therefore be possible for contemporary Muslims to undertake a similar process of interpretation and application of the Qur'an and Sunna in the present historical context to develop an alternative public law of Islam which is appropriate for implementation today".
.
Daftar Pustaka
Abdullah Ahmad an-Na’im, Dekonstruksi Syari’ah (terjemahan).
Ahmad Qodri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum,
Abdullah M. al-Husyan al-‘Amiri, Dekonstruksi Sumber Hukum Islam Pemikiran Hukum Najm ad-Ddin Thufi, (Terjemahan).
Norman Anderson, Law Reform in Muslim World,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar