jendela google

Google

Sabtu, 24 November 2007

EKONOMI ISLAM: SUATU PERKENALAN#

Every system, intending to achieve certain goals, must be designed in a realistic manner. Therefore, if the system is supposed to be implemented in order to serve human life, particularly in the long-run, it must serve man's goals and be consistent with his fitrah (primordial nature). This is not possible unless the designer of the system has a command over the knowledge necessary for understanding social and individual aspects of man (Ali Taskhiri).


  1. Pendahuluan


Kegagalan yang paling terasa dari modernisasi yang merupakan akibat langsung dari era globalisasi adalah dalam bidang ekonomi. Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.

Kegagalan pendekatan pembangunan ekonomi secara konvensional itu, ditandai dengan adanya kemiskinan masyarakat, eksploitasi kaum kaya terhadap kaum miskin, meningkatnya disparitas pada tingkat regional dan internasional, tidak seimbangnya neraca produksi dan konsumsi terhadap kebutuhan lingkungan, dan tidak rasionalnya pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu, beberapa ahli ekonomi menekankan perlunya pertanggungjawaban social, cultural dan agama dalam memilih jalur-jalur pembangunan ekonomi (Muhammad, 2003:41).

Dengan demikian, untuk mempermudah kita memahami ekonomi Islam secara komprehensif, maka ada baiknya kita tempuh dengan menggunakan pendekatan perbandingan, yakni dengan membandingkan system ekonomi Islam dengan system ekonomii konvensional (kapitalisme dan sosialisme).



  1. Perbandingan Sistem Ekonomi: Kapitalisme, Islam dan Sosialisme

D

Economics

ari diagram berikut ini, dapat dinyatakan bahwa system ekonomi Islam, dilihat dari sudut pandang bingkai keilmua (body of knowledge)- dapat disejajarkan dengan kapitalisme maupun sosialisme sebagai sebuah system ekonomi (Arif, 2001: 13).



Economics system





Sosialisme

Capitalisme

Islamic Economic

System





Marxian Paradigm

Market

Economic Paradigm

Syari’ah Paradigm





Basic of Micro Foundation: Economic Man

Basis of the Micro

Foundation: No Private Ownership of the Means of Produduction

Basis of the Micro

Foundation: Muslim Man (ahsani taqwim)







Philosophic Foundations: Individualisme in the role of vicegerent of the God on earth with an objective to achieve falah in this world and in the hereafter, accountable for performance

Philosophic Foundations: Utilitarian individualism based on the laissez-faire philosophy



Philosophic Foundations: dialetical materialism











Ada beberapa hal yang penting dicatat dari diagram di atas, Pertama, system ekonomi Islam sejajar dengan kapitalisme dan sosialisme. Kedua, meskipun sejajar dengan ekonomi konvensional, akan tetapi tidaklah sama. Gambar di atas dengan jelas menunjukkan adanya perbedaan fundamental dalam paradigma yang dianut, dasar fondasi mikro, maupun landasan filosofisnya. Paradigma yang dianut dalam system kapitalisme ialah paradigma ekonomi pasar, dalam system sosialisme paradigma yang dianut ialah paradigma Marxian, sedangkan dalam system ekonomi Islam paradigma yang dianut adalah paradigma syari’ah. Dasar fondasi mikro dalam system kapitalis adalah manusia ekonomi, sosialisme mendasarkan fondasi mikro ekonominya kepada satu aturan yang menyatakan bahwa tidak diakuinya kepemilikan individu atas alat-alat atau faktor-faktor produksi, sedangkan ekonomi Islam mendasarkan fondasii mikronya pada substansi manusia paripurna (ahsani taqwim). Fondasi filosofis dalam system kapitalis individualisme utilitarian yang didasarkankan pada filsafat Laissez-faire (berjalan sendiri). Dalam system sosialis dasar filsafat ekonominya adalah materialisme dialektikal. Dalam system ekonomi Islam dasar filsafatnya adalah manusia sebagai khalifah Allah di bumi yang bertujuan untuk memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, serta pertanggungjawaban ekonomis.

  1. Ekonomi Islam: an Introduction

Perbedaan-perbedaan fundamental dalam system ekonomi di atas ini, tentu berimplikasi pada tataran lebih rendah dalam ilmu ekonomi dan asumsi-asumsi teoritis-praksis keilmuannya. Paham ekonomi konvensional berpendapat bahwa persoalan ekonomi muncul karena tuntutan pemenuhunan (needs fulfilling) yang diperlukan manusia. Manusia memiliki kebutuhan yang tak terbatas sementara sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan terbatas ketersediaannya. Akibatnya timbul kelangkaan, kelangkaan inilah yang menurut paham ekonomi konvensional merupakan masalah ekonomi yang harus dipecahkan. Dengan demikian, rumusan ilmu ekonomi konvensional biasanya didefinisikan dengan: The social science concerned with the problem of using or administering scarce resources (the means of producing) so as to attain the greates or maximum fulfilment of society’s unlimited wants (the goal of producing). (ilmu social yang membahas problem mengenai penggunaan atau pengaturan sumberdaya yang terbatas (alat-alat produksi) untuk memperoleh pemenuhan terbesar dengan secara maksimum dari kebutuhan manusia yang tidak terbatas (McConnel, 1978: 27). Dengan singkat ilmu ekonomi konvensional biasanya didefinisikan dengan:economics is the study of the use of scarce resources to satisfy unlimited human wants (G. Lipsey: 1994: 3). Dari tiga definisi di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ekonomi konvensional atau sekuler sama sekali tidak mengkaitkan studi dan praktek yang dilakukan dalam kerangka ilmu ekonomi dengan keberadaan Tuhan, termasuk Syari’ah-Nya.

Sehubungan dengan masalah kelangkaan sumber daya tersebut ada tiga hal pokok yang mesti dipecahkan, yaitu : “apa”/what yang harus diproduksi, “bagaimana”/how memproduksinya dan untuk apa whom barang tersebut diproduksi, serta mengapa why barang diproduksi.

Bagaimana Islam memandang masalah sumberdaya tersebut? Tentang masalah kelangkaan sumberdaya untuk memenuhi dan pemuas kebutuhan adalah tidak berlaku. Islam telah memberikan gambaran tentang luasnya barang pemenuh kebutuhan manusia. Sebagaimana telah ditegaskan dalam firaman Allah: “Dan (Dialah) yang menundukan untuk kalian apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi”. Dengan demikian konsep kelangkaan barang atau sumberdaya adalah tidak berlaku. Sebab sumber pemenuhan kebutuhan atau pemuasan kebutuhan adalah tidak terbatas, sementara kebutuhan manusialah yang terbatas. Karena kebutuhan tersebut hanya berkategori pada persoalan keperluan, kesenangan, dan kemewahan.

Persoalan keterbatasan sumberdaya ekonomi dalam ekonomi konvensioanl dan asumsi bahwa sumberdaya tidak terbatas, melainkan pemuasan keinginanlah yang harus terbatas, dalam ekonomi Islam, menimbulkan variasi pendapat dalam hal postulasi ekonomi ini. M.A. Mannan misalnya, menyatakan bahwa ahli ekonomi Islam dan modern saling mendukung konsepsi tentang apa yang disebut problem ekonomi, yang meliputi kelangkaan sumberdaya alam (scarce sources) dan keinginan-keinginan yang tidak terbatas (unlimited wants). Sementara itu, M.Arief nampaknya tidak sepenuhnya menyetujui dengan alasan bahwa barang-barang langka bukan karena terbatasnya sumber daya alam, karena Allah menciptakan sesuatu yang ada di langit dan di bumi diperuntukkan bagi manusia. Melainkan keterbatasan kemampuan manusia dalam membuat sesuatu dalam memenuhi kebutuhannya. Nafeli dan al-Hasani sependapat dengan mengatakan bahwa kelangkaan terjadi bukan karena proses produksi yang tidak efisien tetapi disebabkan oleh ketidakadilan (njustice) dan terjadinya kesalahan distribusi (maldistribution). Baqir al-Sadr menambahkan bahwa Tuhan mecukupkan sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia secara memuaskan (satisfaction), manusia sendirilah yang menyebabkan timbulnya problem ekonomi yang disebabkan oleh dua alas an, yaitu ketidakailan manusia dalam kesalahan distribusi sumberdaya alam, dan adanya eksploitasi manusia pada alam yang berlebihan.

Berdasarkan istilah dan ruang lingkup ekonomi sebagaimana di atas, maka ekonomi Islam didefinisikan dengan: ilmu yang mempelajari tata kehidupan kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya untuk mencari ridha Allah (Sarkaniputra: 2003).

  1. Arah Pengembangan

Ada tiga paradigma untuk pengembangan ekonomi Islam ke depan: pertama, sebagaii alternatif. Ini berarti munculnya praktek ekonomi Islam dalam hiruk pikuk kehidupan ekonomi yang sudah mapan atau mainstream yang biasa disebut dengan ekonomi konvensional. Istilah ini berarti ada garis pemisah yang tegas dengan mainstream yang bias berarti pinggiran dan bahkan bias juga memberi arti eksklusif. Dalam sejarahnya, jarang sekali alternatif berubah menjadi mainstream. Kedua, sebagai system yang berlawanan. Oleh karena itu ada system yang dominan atau mainstream, yakni ekonomi konvensional, munculnya ekonomi Islam dapat berarti untuk melawannya. Yang akan terjadi adalah menang atau kalah. Ketiga, sebagai model pasca masyarakat kapitalis. Sedangkan yang ketiga ini dengan menggunakan pendekatan eklektisisme yang otomatis inklusif bukan eksklusif. Ada dialog dan perdebatan konseksional sampai pada tarap implementasi. Dalam hal ini bukan menyingkirkan, melainkan mengisi atau mengurangi elemen-elemen yang dianggap tidak cocok, jadi ada continuity and change antara konsep konvensional dan Islam dalam ekonomi. Ekonomi Islam dapat menawarkan solusi terhadap semua kritik yang telah dilontarkan kepada ekonomi kapitalisem, termasuk oleh ahlinya dan oleh masyarakat Barat sendiri, pada intinya untuk memperebutkan konsep mewujudkan kemakmuran, kesejahteraan, dan keteraturan menyeluruh dan keadailan social.




Tidak ada komentar: