jendela google

Google

Sabtu, 24 November 2007

Ekonomi Mikro Islam: Pola Perilaku Konsumen Muslim

Y




Ic30

Ic20


Ic10

X


Soal:

  1. Nilai apa yang terkandung dalam maksimal utility pada curva di atas?

  2. Apa yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam?


Jawab:


  1. Seorang konsumen akan berusaha mencapai kepuasan maksimum dalam pola konsumsinya, sebagaimana ditunjukkan oleh indifference curve yang semakin bergeser menjauhi titik origin atau bergeser ke kanan atas. Dengan demikian dalam pola konsumsi seperti itu, tujuan utamanya adalah mencari dan berusaha mendapatkan kepuasan setinggi-tingginya (maximization of utility). Jenis kualitas dan kuantitas barang ekonomi yang akan dikonsumsi adalah yang dapat memberikan kepuasan tertinggi bagi konsumen. Upaya konsumen dalam rangka mendapatkan kepuasan maksimum hanya akan dibatasi oleh jumlah anggaran keuangan yang dimilikinya. Oleh karena itu, rasionalitas yang menjadi dasar konsumen dalam pola konsumsi seperti ini, tidak mempunyai nilai-nilai yang prinsipil yang dapat mengarahkannya untuk mengatur pola konsumsinya, kecuali seberapa besar anggaran yang dimilikinya. Konsumen seperti itu, akan cenderung menghabiskan anggarannya demimengejar kepuasan tertinggi yang dapat diperolehnya. Dengan demikian, ada satu nilai yang prinsipal yang terkandung dalam maksimal utility yaitu sikap boros.


  1. Yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam adalah adanya sikap boros dalam pola konsumsi, individualis, tidak memperhatikan nilai-nilai principal seperti mengkaitkan pola konsumsi dengan pengeluaran di jalan Allah. Hal itu dapat diilustrasikan dalam kurva berikut.


Y (spending in the cause of Allah)

Y2




Y1


X (wordly need)

O X1 X2


Dengan menggunakan kurva sederhana ini, dapat diasumsikan bahwa Y menunjukkan pendapatan yang dibelanjakan (konsumsi) ke jalan Allah dan X merupakan pendapatan yang dibelanjakan untuk kebutuhan duniawi. Gambar di atas juga menujukkan bahwa permintaan terhadap barang dan jasa untuk kebutuhan duniawi harus memperhatikan kebutuhan akhirat (cause of Allah) dan sebaliknya. Lain halnya dengan pendekatan yang berlaku dalam ekonomi konvensional, permintaan konsumen tidak dapat dilakukan pada setiap titik pada garis anggaran (garis X2 dan Y2). Hal itu disebabkan karena permintaan konsumen cenderung ke arah kebutuhan diniawi (X) akan menyebabkan ia tidak dapat memenuhi kebutuhan akhirat (israf/pemborosan) atau dapat memenhi tetapi lebih kecil dari yang sebenarnya dapat dilakukan. Hal itu tidak efisien dalam pandangan Islam. Sebaliknya, jika permintaan konsumen cenderung mengarah kepada kebutuhan akirat (Y) juga tidak diperkenankan karena kebutuhan-kebutuhan esensial manusia akan terabaikan.

Oleh sebab itu, konsumen muslim harus benar-benar mengetahui akan adanya pilihan-pilihan kebutuhan yang harus dipilih, supaya kebutuhan-kebutuhan yang lebih penting terpenuhi lebih dulu. Pengeluaran konsumsi (infaq) yang dilakukan oleh konsumen muslim diharapkan akan mendatangkan ridha dari Allah (maslahah/kepuasan/utility). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menyangkut perilaku konsumen dan nilai-nilai yang terkandung dalam pilihan konsumsi seorang muslim mesti mempunyai dampak, terhadap pertama, yakni dampak langsung dalam kehidupan di dunia sekarang dan dampaknya kemudian dalam kehidupan di akhira yang akan datang. Kedua, jumlah manfaat alternatif dari penghasilan seseorang ditingkatkan jumlahnya dengan dimasukannya semua keuntungan yang akan diperolehnya pada masa yang akan datang (di akhirat), misalnya pemberian kepada orang-orang miskin yang terlantar, menyisihkan sebagian harta untuk kesejahteraan generasi yang akan datang.


Referensi


Anto, M.B. Hendrie, Pengantar Ekonomika Islami, Yogyakarta: Ekonisia, 2003

Khaf, Monzer. Ekonomi Islam Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam, terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995

Misanam, Munrochim, dkk., Teks Book Ekonomi Islam, Jakarta: BI 2007

Muhammad, Etika Bisnis Islami, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002


Tidak ada komentar: