Pengantar
Hukum Perikatan Islam dijadikan pilot project dalam penelitian hukum Islam, yang berorientasi pada pengembangan teori umum tentang hukum Islam. Kajian ini menjadi signifikan karena lahirnya beberapa institusi syari’ah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dan mu’amalat Islam, serta semakin berkembangnya bisnis umat Islam yang diiringi munculnya keinginan untuk menyelaraskan bisnis sebagai fenomena modern, dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang orisinal.
Kajian mengenai Hukum Perikatan Islam, termasuk ke dalam penelitian hukum Islam normatif, yaitu untuk mendapatkan peraturan-peraturan hukum yang kongkrit (al-ahkam al-far’iyyah) yang merupakan pengembangan dari al-usul al-kuliyyah (norma-norma antara/ doktrin hukum Islam), yang juga diturunkan dari nilai-nilai dasar ( al-qiyam al asasiyyah) dalam al-Qur`an dan al-Sunnah.
Hukum Perikatan
Hukum Perikatan Dalam Hukum Positif
Hukum perikatan didefinisikan sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu wajib berprestasi, dan pihak lainnya berhak atas prestasi. Dengan demikian yang menjadi obyek hukum dari suatu perikatan adalah prestasi atau pemenuhan perikatan. Dalam hukum positif prestasi dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu:
Memberikan sesuatu seperti membayar harga, menyerahkan barang, dsb.
Berbuat sesuatu seperti memperbaiki barang yang rusak, membongkar bangunan, dsb.
Tidak berbuat sesuatu seperti tidak menggunakan merk dagang, dst.
Dengan diadakannya suatu perikatan maka timbul apa yang disebut hak perseorangan relatif (persoonlijke rechten), yaitu hak-hak yang hanya dimiliki oleh masing-masing pihak yang terkait oleh suatu perikatan atau orang-orang yang berkepentingan saja.
Dalam hukum positif suatu perikatan dapat muncul atau bersumber dari dua hal, yaitu dari perjanjian (kontrak/akad), dan dari undang-undang. Perikatan yang bersumber dari undang-undang dibedakan menjadi dua macam yaitu:1) perikatan yang bersumber dari undang-undang saja, dan 2) perikatan yang bersumber dari undang-undang yang berkaitan dengan perbuatan manusia baik yang sesuai hukum maupun yang melawan hukum.
Hukum Prikatan Islam
Dalam hukum Islam, perikatan disebut iltizam. Menurut istilah fiqh, perikatan (iltizam) ini didefinisikan sebagai: “Suatu tindakan yang meliputi: pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.” Definisi perikatan ini sejalan dengan pengertian akad (perjanjian) dalam arti umumnya selain juga tercakup kedalamnya pengerian tasaruf dan kehendak pribadi. Perikatan dapat muncul dari perseorangan (seperti wakaf, wasiat, dll.), maupun dari dua belah pihak (sepert jual-beli, ijarah, dll).
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa, perikatan dalam perspektif UU Islam (qanun) didefinisikan sebagai: “Keadaan tertentu seseorang yang ditetapkan syari’ah untuk dilakukan atau tidak dilakukan demi mewujudkan kemaslahatan pihak lain.”
Unsur-unsur pembentuk perikatan dalam perspektif fiqh adalah:
Multazam Iah yaitu orang yang berhak atas suatu prestasi.
Multazim, yaitu orang yang berkewajiban memenuhi suatu prestasi.
Mahal al-iltizam, atau obyek perikatan
Perbuatan yang dituntut untuk mewujudkan perikatan.
Iltizam atau perikatan itu sendiri.
Sesuatu atau peristiwa yang menimbulkan terjadinya perikatan disebut sebagi sumber perikatan (masdar al-iltizam). Sumber-sumber perikatan tersebut dalam hukum Islam adalah: akad, kehendak pribadi, perbuatan melawan hukum, perbuatan sesuai hukum, dan syari’ah. Macam-macam sumber perikatan tersebut pada hakikatnya dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: akad, Undang-undang (qanun), dan kehendak perorangan.
Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Positif
Pembahasan mengenai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) menurut hukum positif Indonesia, berangkat dari bunyi pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi: Setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orangnya karena kesalahannya menerbitkan kerugian itu, mengganti kewajiban.” Dengan demikian unsur-unsur pokok dalam perbuatan melawan hukum adalah: 1) adanya tindakan atau perbuatan, 2) perbuatan itu harus melawan hukum, 3) pelakunya mempunyai unsur salah, dan 4) tindakan itu menimbulkan kerugian pihak lain. Selain perbuatan aktif, onrechtmatige daad meliputi pula perbuatan pasif seperti membiarkan sesuatu berlangsung padahal merugikan orang lain (sesuai pasal 1366). Sejalan dengan berkembangnya penafsiran terhadap onrechtmatige daad, unsur-unsur perbuatan melawan hukum tersebut diperluas dengan:5) bertentangan dengan kewajiban pelaku, 6) bertentangan dengan kesusilaan, dan 7) bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan dari orang lain dalam pergaulan hidup.
Perbuatan Melawan Hukum Dalam Hukum Perikatan islam
Perbuatan melawan hukum dalam hukum Islam merupakan sebutan bagi perbuatan yang melanggar hak-hak adami (privat), khususnya dalam hak kebendaan individu, baik yang bersumber dari hukum normative, maupun perjanjian yang telah disepakati. Karena merupakan pelanggaran hukum, maka perbuatan tersebut memiliki konsekwensi sanksi yang secara global kemudian diatur dalam hukum tanggungan atau jaminan (al-daman, al-kafalah).
Unsur-unsur perbuatan melawan hukum menurut hukum perikatan Islam adalah:
Ada perbuatan atau tindakan.
Perbuatan itu melawan hak orang lain.
Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku.
Menimbulkan kerugian materiil pihak lain.
Dengan demikian dalam hukum Islam, suatu perbuatan dianggap melawan hukum atau tidak, dilihat dari prosesnya (substansinya), apakah perbuatan tersebut secara materiil sesuai atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada. Sehingga walaupun perbuatan itu secara tidak langsung tidak merugikan pihak lain, namun dengan alasan perbuatan tersebut secara materiil melanggar hukum normative, maka dapat dituntut. Sedangkan dalam hukum positif, harus dad keterpaduan antara substansi perbuatan dengan akibat hukumnya. Sehingga seseorang yang melakukan suatu perbuatan tidak dapat dituntut atau disebut telah melakukan perbuatan melawan hukum , kecuali jika dapat dibuktikan unsur kesalahan secara materiil dan ada akibat hukum yang menjadi alasan penuntutan hak tersebut.
Akad (Perjanjian)
Pengertian Dan Substansi Akad
Sebagaimana telah disebutkan di atas, perjanjian (akad) merupakan sumber perikatan.Dengan terjadinya akad maka akan menimbulkan konsekwensi pada pihak-pihak yang terlibat dalam akad tersebut, yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban. Jadi substansi akad adalah perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’, yang menimbulkan akibat-akibat hukum berupa hak dan kewajiban.
Macam-macam Akad
Macam-macam akad dapat ditinjau dari berbagai segi, antara lain;
Ditinjau dari segi sifat dan hukumnya, akad dibagi menjadi: akad sahih dan tidak sahih. Akad sahih adalah akad yang unsur-unsur pokok(rukun) nya tidak bercacat, baik substansi maupun sifatnya.
MenurutJumhur, lawan dari akad sahih adalah akad batil atau tidak sah. Baik karena ada cacat dalam rukun juga sifatnya. Sedangkan menurut Hanafiyah, membagi akad yang bercacat ini dengan batil (tidak sah) apabila terdapat cacat pada rukun, Sedangkan bila cacat terdapat pada selain rukun maka termasuk akad yang fasid tetapi termasuk sah.
Akad sahih dapat dikategorikan menjadi akad nafiz( apabila akibat-akibat hukumnya terjadi semata-mata karena adanya akad tanpa bergantung pada pihak lain), dan akad mauquf (apabila akibat hukumnya terhalang untuk dilaksanakan baik karena adanya unsur keterpaksaan maupun berkaitan dengan hak orang lain).
Dari segi sighat, akad dapat dibagi menjadi:
Akad munjaz, yaitu akad yang mempunyai akibat hukum seketika itu setelah terjadinya ijab dan qabul.
Akad bersyarat, yaitu akad yang digantungkan kepada syarat tertentu, akibat hukumnya dipandang baru terjadi apabila syarat tersebut terpenuhi.
Akad yang bersandar pada waktu yang akan dating.
Akad fauri dan mustamir. Akad fauri adalah apabila akibat hukum akad dapat dilaksanakan dengan segera setelah terjadinya akad, atau tujuan akad telah tercapai setelah terjadinya ijab dan qabul seperti akad jual beli barang tunai. Sedangkan akad mustamir pelaksanaannya memerlukan waktu panjang setelah terjadinya akad..
Ditinjau dari segi akibat hukumnya, akad dibagi menjadi:
Akad yang bertujuan memberikan hak milik . Jika pemberian hak milik dilakukan dengan tukar menukar disebut akd muawadah, sedangkan apabila tanpa imbalan disebut akad kebajikan ( tabrru’).
Akad untuk melepaskan hak (itsqat) baik tanpa maupun dengan adanya ganti . Misalnya membebaskan orang berhutang dari kewajiban membayar hutangnya, membebaskan orang dari hukuman qisas tapi diganti dengan membayar diyat.
Akad itlaq, bertujuan memberi kekuasaan untuk melakukan perbuatan atas nama dirinya kepada orang lain.
Akad taqyid, yaitu mengikat orang lain untuk berbuat dengan wewenang yang semula dimilikinya.
Akad syirkah, akad yang bertujuan bekerjasama memperoleh keuntungan.
Akad pertanggungan.
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Positif
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas terbuka, yang artinya hukum perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja. Sistem (asas) terbuka yang mengandung asas kebebasan berkontrak itu, lazimnya disimpulkan dari pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:” semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Hukum perjanjian memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian hanya merupakan pasal pelengkap, dalam arti boleh diabaikan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.
Asas kebebasan berkontrak ini dalam penerapannya harus diimbangi dan dibatasi. Oleh karena itu dalam hukum positif Indonesia dikenal pula asas konsensualitas yang disimpulkan dari pasal 1320 KUH Perdata, yang berbunyi: “ Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan adanya empat syarat yaitu kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk berbuat sesuatu, dan suatu sebab yang halal.” Dengan asas konsensualitas ini diartikan bahwa pada dasarnya suatu perjanjian dan perikatan yang muncul, sebenarnya suadah ada sejak tercapainya kesepakatan. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila kedua belah pihak sudah sepakat tentang hal-hal yang pokok, dan tidak memerlukan suatu formalitas.
Asas Kebebasan Berkontrak Dalam Hukum Perikatan Islam
Nilai-nilai dasar asas kebebasan berkontrak dalam hukum Islam antara lain dapat dilihat dalam Q.S al-Maidah (5): 1, atau dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dari’Abdurrahman bin ‘Auf, yang berbunyi:
يا أيها الذين ا منو ا أوفوه با عقو د
Dengan demikian kaum Muslimin dapat memasukan syarat apapun ke dalam perjanjian mereka dalam batas-batas ketentuan halal dan haram, serta batas-batas ketertiban umum syari’at, dan akad tersebut wajib untuk dipenuhi.
Konsep asas kebebasan berkontrak juga dapat dilihat dalam kaidah fiqhiyyah:
الا أصل في ا لعقد ر ضى المتعقدين ونتجتة ما التز ما ه با لتعا قد
Bila dalam hukum positif dinyatakan bahwa kebebasan berkontrak pada asasnya adalah bebas dalam batas-batas ketertiban umum dan kesusilaan, maka nampak dibatasi agar tidak bertentangan dengan Kitab Allah, atau tidak ada dalil yang mengharamkannya.
Rukun Dan Syarat Akad
Rukun dan syarat akad secara garis besar adalah:
Para pihak
Pernyataan kehendak
Obyek akad
Kausa akad.
Sedangkan secara rinci, rukun dan syarat akad adalah sebagai berikut:
Kecakapan (Teori Tentang Ahliyah: Wujub dan Ada)
Berbilang pihak (Para Pihak)
Pertemuan/kesesuaian ijab dan qabul.
Kesatuan majlis (Pernyataan kehendak)
Ada atau dapat diadakan
Tertentu atau dapat ditentukan (Obyek akad)
Dapat ditransaksikan (mutaqawwim wa mamluk)
Tidak bertentangan dengan syara’ (Kausa akad)
Penjelasan masing-masing rukun dan syarat tersebut, sebagai berikut:
Para Pihak
Karena perjanjian merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang memberikan ijab dan menerima (qabul), maka syarat dari para pihak ini adalah berbilangnya pihak yang erakad, sehingga tidak sah akad yang dilakukan oleh satu orang saja, atau melaksanakan ijab sekaligus qabul. Namun hukum Islam memberikan pengecualian pada dua kasus berakad pada diri sendiri yaitu ayah dan kakek yang menjual harta anaknya (yang berada di bawah perwaliannya) kepada dirinya sendiri, atau ia menjual hartanya pada anaknya itu.
Sedangkan syarat dari para pihak yang berakad adalah mempunyai kecakapan yang menentukan layak tidaknya seseorang mempergunakan hak dan kewajibannya. Hukum Islam menggunakan istilah ahliyyah untuk menunjuk arti kecakapan/ kelayakan. Ahliyyah ada dua macam yaitu ahliyyah ada’ dan ahliyyah wujub. Ahliyyah wujub adalah kelayakan seseorang untuk mendukung hak dan beberapa macam kewajiban . Ahliyyah wujub ini mulai ada sejak permulaan eksistensinya (bad’ al-syakhsiyah) sebagai manusia, yaitu sejak janin ada dalam rahim, dan berakhir dengan kematiannya. Manusia mempunyai ahliyyah al-wujub karena ia dianugerahi oleh Allah al-dimmah yang tidak dimiliki oleh makhluk lain. Ahliyyah al-wujub ini terdiri dari dua macam, yaitu ahliyyah al-wujub al-naqisah,yaitu kecakapan janin dalam kandungan. Kecakapan ini mendukung janin untuk mendapatkan haknya. Dan ahliyyah al-wujub al-kamilah yaitu kecakapan yang dipunyai orang hidup setelah lahir dari rahim ibunya.
Sedangkan ahliyyah al-ada’ adalahkecakapan untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum, yang juga terbagi menjadi ahliyyah al-ada’ al naqisah dan ahliyyah al-ada’ al-kamilah, disesuaikan dengan periode kehidupan manusia yang dimulai dari periode sebelum mumayyiz, mumayyiz, periode baligh, dan periode dewasa. Disamping itu terdapat faktor lain yang mempengaruhi sempurna atau tidaknya kecakapan melakukan perbuatan hukum, misalnya kesehatan akal, bodoh, safih (dibawah pengampuan), dll.
Dalam hukum positif, pada dasarnya setiap orang yang sudah dewasa atau akil baligh dan sehat fikirannya adalah cakap menurut hukuml. Namun terdapat pengecualian seperti diatur dalam pasal 1330 KUH Perdata:
tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
Orang-orang yang belum dewasa
Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh UU, dan pada umumnya semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat perjanjian hukuml.”
Pernyataan Kehendak
Pernyataan kehendak dalam suatu akad dinyatakan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah suatu yang muncul pertama kali dari salah satu orang yang berakad berupa penawaran. Sedang pernyatan penerimaan setelah ijab yang bernada positif adalah qabul, yaitu suatu yang muncul sebagai pernyataan kerelaan atas pernyataan pertama dan memunculkan kewajiban memenuhi prestasi.
Ijab dan qabul tersebut dipandang mengikat oleh syara’ apabila memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
ijab dan qabul itu mengungkapkan kehendak yang dapat diakui oleh umum dapat memunculkan akad yaitu: a) hendaknya menunjukan indikasi yang jelas akan adanya kehendak (tidak menimbulkan penafsiran0, b) ijab dan qabul tersebut muncul dari seseorang yang mumayyiz.
Hendaknya qabul (penerimaan) dari pihak kedua, bersesuaian dengan ijab, baik penerimaan itu bersifat hakiki maupun dimniy.
Obyeknya dapat diterima syara.
Persambungan antara ijab dan qabul yang terwujud dengan adanya dua hal, yaitu:
pengetahuan orang yang berakad akan sesuatu yang muncul dari pihak lawannya apabila mereka berkumpul. Ini merupakan dasar dari ketersambungan kehendak dan mufakat antara kedua belah pihak.
Ijab dan qabul muncul dari satu majlis yang tidak disela dengan sesuatu yang menunjukan pengingkaran ijab yang telah ada oleh salah satu pihak.
Cara-cara pernyataan kehendak antara lain dengan lisan, surat menyurat (al-kitabah), isyarat, dan pertanda (al-dalalah).
Cacat Kehendak
Perizinan (persetujuan) merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian. Perizinan dianggap sempurna apabila didasarkan pada kehendak murni para pihak . kehendak murni adalah kehendak yang dinyatakan secara bebas dan dalam suasana yang wajar, serta tidak dipengaruhi oleh unsure-unsur yang menyesatkan pertimbangan dan merusak kehendak para pihak.
Hal-hal yang menyesatkan dan membuat kehendak menjadi cacat disebut cacat kehendak. Baik dalam hukuml positif (sebagaimana diatur dalam KUH Perdata pasal 1321), maupun dalam hukuml Islam, cacat kehendak ini biasanya disebabkan adanya: kehilafan (dwaling), paksaan (dwang), dan penipuan (bedrog).
Dalam pembahasan hukuml Islam, dari ketiga hal yang menyebabkan cacat kehendak, tidak seperti mengenai pemaksaan dan penipuan, mengenai kehilafan sangat kurang pembahasannya, dan hanya terserak di sejumlah tempat dalam berbagai jenis khiyar tanpa dihimpun dalam suatukesatuan yang bulat. Hal ini dikarenakan sifat dari kehilafan ysangat subyektif. Padahal hukuml islam adalah hukum yang sangat (lebih) disemangati oleh obyektifisme.
Obyek Akad
Berkenaan dengan syarat-syarat obyek akad, terdapat perbedaan pendapat. Menurut Syamsul Anwar, syarat-syarat obyek akad adalah:
Ada atau dapat diadakan (dapat diserahkan).
tertentu atau dapat ditentukan.
Dapat ditransmisikan (mutaqawwim wa mamluk).
Sedangkan menurut sayyid Sabiq, syarat obyek akad adalah:
suci benda atau barangnya
milik salah satu pihak yang akan bertransaksi
pengetahuan tentang benda atau barang akad itu
bias dimanfaatkan
kemampuan untuk menyediakan dan menyerahkan benda atau barang akad itu.
benda atau barang akad itu maqbud (berada dalam otoritas pemilik).
Fenomena Bay’ Ma’dum
Bay’ ma’dum adalah jual beli yang obyek akadnya sesuatu yang ma’dum. Namun dalam konteks ini, para ulama memberikan perkecualian terhadap akad salam, akad al-ijarah, dan akad al-istisna, atas dasar istihsan. Kontroversi sekitar boleh tidaknya bay’ al-ma’dum adalah karena dikhawatirkan mengandung unsur gharar dan ketidaktahuan (al-jahalah). Sehingga berkaitan dengan hal ini, para fuqaha, misalnya Sanhuri mencoba mengkritisi dengan membuat lima macam klasifikasi obyek akad, dengan maksud mengeliminir unsur gharar dan menjadikan transaksi itu sah. Yaitu:
Sesuatu ada secara sempurna pada saat akad.
sesuatu ada pada saat akad terjadi (tetapi belum sempurna) dan sempurna pada beberapa saat mendatang.
Sesuatu tidak ada pada saat akad terjadi, tetapi dapat diadakan pada waktu yang akan datang.
Sesuatu tidak ada pada saat akad terjadi, akan tetapi dapat diadakan pada waktu yang akan datang.
Sesuatu yang tidak ada pada saat akad terjadi dan tidak mungkin dapat diadakan pada waktu yang akan datang.
Dari lima klasifikasi di atas, sanhuri menilai tiga klasifikasi pertama dapat mengeliminir unsur gharar yang terdapat pada benda/ obyek akad itu.
Kausa
- Kausa Dalam Hukum Positif
Menurut Hamaker (seorang ahli hukum Belanda), kausa suatu perjanjian adalah akibat yang disengaja ditimbulkan oleh tindakan menutup perjanjian, yaitu apa yang menjadi tujuan bersama para pihak untuk menutup perjanjian. Dalam hal ini Hamaker membedakan kausa (yang merupakan tujuan obyektif), dengan motif yang merupakan tujuan subyektif.
Setiap perjanjian mempunyai kausanya sendiri, yang membedakannya dari perjanjian lain. Namun secara umum kausa dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
untuk mengadakan, menggabungkan atau menimbulkan hubungan hukum.
untuk menegaskan, memperkuat, mengubah, atau menghapus hubungan yang ada antara mereka..
Di Perancis sejak abad 19, berkembang dua aliran tentang kausa, yaitu: 1) aliran tradisional dan 2) aliran modern. Aliran tradisional mewarisi ajaran Domat dan Pothier, yang secara tegas membedakan kausa dengan motif dan melihat kausa sebagai bersifat obyektif, berada di dalam perjanjian, dan tidak berubah dengan berubahnya motif. Sedangkan aliran modern, menghilangkan batas-batas antara kausa dan motif, dan menjadikan motif itu sendiri sebagai kausa, baik motif itu merupakan bagian persetujuan maupun tidak. Sehingga dengan demikian kausa menjadi bersifat subyektif, berada di luar perjanjian, dan berubah-ubah sesuai berubahnya motif. Namun motif yang merupakan kausa adalah hanya motif pendorong yang menentukan saja (la cause impulsive et determinate). Menurut aliran modern, syarat motif menjadi kausa adalah diketahiu oleh lawan janji.
Karena ilmu hukum dan praktek peradilan di beberapa negara Arab dipengaruhi oleh ilmu hukum dan praktek peradilan di Perancis, maka banyak ahli-ahli hukuml Arab mendukung teori modern tentang kausa ini. Bahkan al-Sanhuri (pembuat KUH Perdata di beberapa negara Arab), mengeritik tajam teori tradisional tentang kausa.
Apabila tujuan yang hendak dicapai para pihak kemudian ternyata tidak dapat tercapai, maka lazimnya disebut “tanpa kausa’. Sedangkan kausa palsu adalah jika kausa yang disebutkan dalam perjanjian bukanlah kausa yang sebenarnya. Dan kausa terlarang adalah kausa yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Kausa Dalam Hukum Islam
Beberapa sarjana hukum Arab dan sarjana hukum Islam berbeda pendapat tentang bagaimana kausa dalam hukum Islam. Antara lain terdapat tiga pendapat tentang kausa yaitu:
Kausa adalah motif.
Pendapat ini antara lain didukung oleh al-Sanhuri. Sanhuri berpendapat bahwa sebagai hukum yang ditandai oleh semangat obyektifisme, hukum Islam berpegang pada pernyataan kehendak, sehingga dengan demikian, teori kausa sulit mendapat tempat di dalamnya. Tetapi sebagai hukum yang berlandaskan nilai-nilai etis dan religius, ia memberikan perhatian besar terhadap motif sebagi tujuan untuk menilai kemuliaan dan kebersihan hati, sehingga semestinya teori kausa mendapat tempat yang memadai , karena teori kausa pada dasarnya adalah suatu teori etis. Karena itu hukum Islam tampak bergerak di antara kedua kutub ini, sehingga beberapa mazhab tidak memberi perhatian kepada teori kausa, dan teori tersebut tersembunyi di dalam ajaran tentang sighat akad, seperti dalam mazhab Hanafi dan Syafi’i . Sedangkan mazhab Hambali dan Maliki, mementingkan motif dan karenanya ajaran tentang kausa lebih menonjol.
Kausa adalah tujuan pokok akad
Pendapat ini antara lain didukung oleh Wahid Sawwar dan Khalid ‘Abdullah ‘Id, yang menyatakan bahwa tujuan pokok akad (al-maqasid al-asli li al-aaqd) ini merupakan kausa perjanjian dalam hokum Islam, dengan melihat kaitan erat antara tujuan pokok akad tersebut dengan obyek akad (Mahal al-aqd). Lebih lanjut menurut kedua pakar di atas konsep kausa tidak hanya ditemukan dalam doktrin al-maqasid al-asli li al-aqd, tetapi juga tidak ditemukan dalam doktrin mengenai motif. Disini Sawwar dan ‘Id, seakan menganut faham adanya kausa ganda dalam hokum islam.
Sarjana lain yaitu Mustafa Ahmad al-zarqa, mengikuti teori tujuan pokok akad sebagai kausa ini. Bahkan dengan tegas Zarqa menambah rukun akad yang keempat dengan tujuan akad. Dengan menjadikan tujuan pokok akad sebagai rukun ini, berarti Zarqa membawa konsep hokum Barat tentang kausa ke dalam lingkungan hukum Islam
Kausa adalah consideration.
Pengkaji hokum Islam Susan E. Rayner, membahas hokum perjanjian Islam di dalam konsep consideration menurut hokum Anglo Saxon. Kajiannya mengenai consideration tercampur dengan obyek akad dari pihak kedua, yaitu harga, sehingga secara praktis ketika membahas consideration ia membahas syarat-syarat dari harga. Sarjana lain yaitu liquat ‘Ali Khan Niazi dari Pakistan mengidentikkan consideration dengan kausa dan mengartikan kausa sebagai tujuan pokok akad.
Penafsiran Dan Penentuan Lingkup Akad
Perjanjian atau akad sifatnya terbuka sehingga mencakup berbagai dimensi, baik yang sudah ditentukan oleh UU ataupun belum. Dan obyeknya meliputi berbagai jenis benda, baik benda bergerak maupun tidak bergerak, barang musnah maupun barang tetap. Karena posisinya yang begitu penting, maka lafaz perjanjian (akad) harus jelas, sehingga apabila terdapat keragu-raguan atau ketidak-jelasan pada akad harus dilakukan penafsiran.
Dalam penafsiran akad, fiqh Islam pada prinsipnya sangat berpegang pada keinginan zahir bukan batin. Oleh karena itu sigat-sigat yang terdapat pada akad harus lebih dahulu dipegang. Bila dalam sigat perjanjian (akad) terdapat keragu-raguan, barulah ditafsirkan. Hal ini sesuai dengan kaidah: al-‘bratu bi al-iradah al-zahirah
Mengenai penentuan lingkup akad, menurut al-Sanhuri, faktor-faktor pokok terpenting dalam penentuan lungkup akad terutama pada obyek akad adalah: 10 kebiasaan (tabi’at perikatan),2) UU baik hukumya maupun yang sudah mengalami penafsiran,3) Adat kebiasaan serta syarat-syarat yang dikenal dalam mengadakan suatu perjanjian, 4) persoalan keadilan.
Permasalahan Dalam Perbankan Islam
Akad al-Murabahah
Kata al-murabahah berasal dari kata al-ribh, yang berarti tambahan (keuntungan). ‘Abdurrahman al-Jaziri mendefinisikan bay’ al-murabahah sebagai: “ menjual barang dengan harga pokok beserta keuntungan dengan syarat-syarat tertentu.” Sedangkan Wahbah al-Zuhayli mendefinisikan bay’al-murabahah sebagai : “jual beli dengan harga pertama (pokok) beserta keuntungan.”
Konsep dasar operasional bank Islam adalah system simpanan murni (al-wadiah), system bagi-hasil (al-mudarabah dan al musyarakah), system jual beli dan marjin keuntungan ( bay’ al-murabahah dan bay’ bi saman al-ajil), system sewa, dan system upah. Walaupun system bagi hasil merupakan karakteristik utama dan produk unggulan dalam operasionalisai bank Islam, namun dalam perjalanannya, bay’ al-murabahah merupakan produk yang paling banyak diminati oleh pengguna jasa bank Islam . Padahal keabsahan bay’ al-murabahah sendiri masih menjadi bahan perdebatan dikalangan ulama kontemporer. Antara lain menurut Abdullah Saeed, yang menyatakan bahwa mark-up pada produk al-murabahah tidak mempunyai perbedaan yang substansial dengan bunga pada produk financing dalam bank konvensional.
Akad bay’ al murabhah di dalam perbankan syari’ah adalah suatu perjanjian yang disepakati antara pihak bank dengan nasabah, dimana bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank plus marjin keuntungan) pada saat jatuh tempo.
Rukun bay’ al-murabahah di dalam perbankan pada dasarnya sama dengan rukun bay’ al-murabahah pada kitab fiqh , yaitu sebagai berikut:
Penjual (al-Ba’I) dianalogikan sebagai bank,
pembeli (al-musytari) dianalogikan sebagai nasabah,
Barang yang akan diperjual belikan (al-mabi’), yaitu jenis barang pembiayaan,
harga (al-saman) dianalogikan sebagai pricing atau platfond pembiayaan.
ijab dan qabul, dianalogikan sebagai akad (perjanjian), yaitu pernyataan persetujuan menyangkut barang yang diperjual belikan, harga dan ijab-qabul.
Jika menyimpulkan dari pendapat para ulama secara umum, dapat disimpulkan bahwa hokum bay’ al murabahah adalah boleh karena:
Bay’ al-murabaha bukan merupakan bay’ al-inah yang diharamkan.
Bay’ al-inah adalah suatu akad jual beli dimana seseoran ( penjual), menjual suatu barang kepada pembeli secara kontan, kemudian penjual tersebut membeli kembali barang tersebut secara tempo dengan harga yang lebih tinggi. Dalam bay’ al-inah pada hakikatnya tidak terjadi akad jual-beli, dimana kepemilikan barang tidak mengalami pergeseran tetapi tetap pada pemilik semula, sedangkan akad jual-beli hanya digunakan sebagai hilah menuju akad pinjam meminajam dengan tambahan dari pokok. Sedangkan di dalam bay’ al-murabahah pada praktek perbankan Islam, benar-benar terjadi akad jual beli dan terjadi perpindahan status klepemilikan barang dari penjual (bank) kepada pembeli (nasabah). sehingga sebenarnya tidak bias disamakan praktek bay’ al-murabahah pada bank Islam dengan bay’ al-inah.
Bay’ al-murabahah bukan merupakan jual-beli barang yang tidak ada (bay’ al-ma’dum)
Bay’ al-murabahah dalam praktek bank Islam tidak bias disebut bay al-ma’dum, karena pihak bank menjual barang kepada nasabah setelah barang tersebut dibeli oleh pihak bank dari supplier atau penjual, baru kemudian dijual kepada nasabah, bahkan di dalam proses negosiasi, jenis barang dan harganya sudah dapat diketahui dengan jelas. Demikian pula barang tersebut jelas-jelas berada di dalam tanggungan pihak bank untuk diadakan di kemudian hari.
Bay’ al-murabahah dalam praktek bank Islam bukan merupakan dua jual beli di dalam satu jual beli , karena hanya terdapat satu harga ( harga pokok plus keuntungan) yang harus ddibayar oleh nasabah dikemudian hari, dan tidak ada pilihan dua harga.
Kritik yang paling banyak mengenai praktek bay’ al-murabahah adalah praktek tersebut dianggap hilah untuk mengambil riba, dan bentuk lain dari financing dalam bank konvensional. Namun sebenarnya, pada bay’ al-murabahah, marjin keuntungan telah disepakati di muka antara nasabah dan bank, yang kemudian disatukan dengan harga pokok barang menjadi harga baru yang harus dibayar nasabah setelah jatuh tempo. Dalam praktek bay’ al-murabahah ini tidak diperkenankan menaikan marjin keuntungan setelah akad, sehingga harganya jelas dan pasti. Selain itu, nasabah tidak mendapatkan uang tunai tetapi barang yang dibutuhkan. Dengan demikian bay’al-murabahah berbeda dengan financing yang menggunakan system bunga.
Pemberian Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran Hutangnya
Sebagaimana bank konvensional, bank Islam berfungsi sebagi suatu lembaga intermediasi (intermediary institution), yaitu mengerahkan dana dari masyarakat yang berlebihan, dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan. Namun dalam menjalankan fungsinya, bank islam menghadapi beberapa permasalahan, satu diantaranya adalah adanya nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran hutangnya. Permasalahan ini mengundang perdebatan di kalangan ulama, mengenai perlu tidaknya memberikan sanksi berupa “denda keterlambatan” terhadap nasabah nakal tersebut.
Mayoritas ulama menentang pemberian sanksi tersebut karena dikhawatirkan akan jatuh pada praktek ribawiyah yang sangat dihindari, dan merupakan alasan utama pendirian bank Islam. Namun ada pula ulama yang mendukungnya, yaitu Mustafa Ahmad al-Zarqa. Di Indonesia, Dewan Syari’ah Nasional- Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sebagi satu-satunya lembaga yang secara resmi mempunyai otoritas untuk memberikan fatwa berkenaan dengan perbankan syari’ah, memberikan fatwa yang mendukung pemberian sanksi terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran hutangnya, yaitu Fatwa N0. 17/ DSN-MUI/ IX/ 2001.
Jika membandingkan Fatwa DSN tersebut dengan pendapat al-Zarqa, Keduanya memiliki perbedaan disamping memiliki persamaan. Persamaannya antara lain:
Sanksi penundaan hanya diberikan kepada nasabah mampu, sedangkan nasabah yang force majeur tidak dikenakan sanksi.
Sanksi ditetapkan berupa denda/ ganti rugi materiil.
Denda tersebut akan diperuntukan bagi dana sosial.
Sedangkan perbedaannya adalah:
Menurut fatwa DSN, sanksi berupa denda materiil tersebut ditetapkan pada kesepakatan awal antara pihak bank dengan nasabah. Yang dikhawatirkan mengenai hal ini adalah bisa saja karena ketentuan tentang akan adanya denda bila ada penundaan telah ditetapkan pada kesepakatan awal, bahkan termasuk jumlah nominalnya, atau telah dimasukan sebagai salah satu klausul perjanjian baku antara pihak bank dengan nasabah, maka biasanya nasabah karena tidak mempunyai bergaining position, dapat saja dirugikan.1 Selain itu denda yang ditetapkan pada kesepakatan awal ini, dikhawatirkan mempunyai kecenderungan ke arah riba, padahal alasan utama penolakan para ulama terhadap pemberian sanksi atas nasabah “nakal” ini adalah karena dianggap menyerupai riba yang dilarang syara’.
Sedangkan menurut al-Zarqa,untuk menghindari penyerupaan dengan riba, sanksi tidak boleh ditetapkan pada saat akad, melainkan harus melalui proses peradilan.
Menurut al-Zarqa, mampu atau tidaknya nasabah tersebut, ditetapkan oleh badan peradilan. Namun al-Zarqa tidak menyebutkan apa kriteria dari “mampu’ bagi nasabah bank tersebut. Sehingga ada kemungkinan sangat bersifat subyektif atau tergantung dari subyektifitas hakim.
Sedangkan fatwa DSN tidak menyebutkan siapa yang berwenang menentukan mampu atau tidaknya nasabah tersebut. Mungkin karena dalam memberikan fasilitas pembiayaan kepada nasabah, sesuai dengan ketentuan pasal 8 UU No. 10/ Th.1998 bank harus melakukan analisis secara profesional. Maka dengan demikian nasabah bank syari’ah, pada saat terjadi transaksi sudah bisa dipastikan (dikategorikan) “mampu”, sehingga ketika dia menunda-nunda pembayaran hutangnya, dan tidak terbukti force majeur dapat dikenakan sanksi sebagaimana ditetapkan fatwa DSN. Walaupun demikian dalam fatwa DSN disebut-sebut mengenai suatu lembaga yang serupa dengan badan peradilan yaitu Badan Arbitrase Syari’ah, yang berfungsi apabila terjadi perselisihan.
Alasan pemberian sanksi terhadap nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran hutangnya, menurut al-Zarqa adalah karena perbuatan tersebut telah merugikan pihak lain (dalam hal ini pihak bank) sehingga kemudian ditetapkan ganti rugi materiil. Namun menurut al-Zarqa denda tersebut ternyata diperuntukkan untuk dana sosial, bukan untuk pihak bank yang dirugikan. Sedangkan menurut fatwa DSN pemberian sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir,2 yaitu untuk memberikan pelajaran/ mendisiplinkan nasabah dalam menunaikan kewajibannya. Maka dengan alasan tersebut wajar apabila dana dari hasil denda tersebut diperuntukkan bagi dana sosial. Dalam hal ini fatwa DSN tampak lebih konsisten daripada pendapat al-Zarqa.
Baik dari pendapat al-Zarqa maupun fatwa DSN masih menyisakan persoalan yang memerlukan pemikiran lebih lanjut, yaitu antara lain tidak dijelaskannya secara lebih rinci mengenai apa kriteria “mampu” bagi nasabah yang menunda-nunda pembayaran hutangnya, sehingga ia layak membayar denda. Persoalan lainnya adalah apabila melalui proses peradilan ( karena dalam fatwa DSN pun menunjukan bahwa apabila terjadi perselisihan maka diselesaikan melalui badan arbitrase syari’ah), maka prosesnya akan sangat rumit dan berbelit-belit sehingga memerlukan waktu maupun biaya yang tidak sedikit. Salah satu pemecahanya, mungkin dapat dilakukan dengan membenahi peraturan tentang perbankan syari’ah secara utuh dan menyeluruh, sehingga mengurangi kemungkinan penyimpangan dalam praktek perbankan syari’ah ini.
Persekot Dalam Hukum Perjanjian Islam
Secara etimologi Arabun (persekot) didefinisikan sebagai pinjaman atau pemberian (al-taslif wa al-taqdim). Arabun dalam bahasa Indonesia biasa dikenal dengan istilah uang muka /panjar. Dan dalam dunia bisnis biasa dikenal dengan down payment (DP). Secara istilah bay’ arabun adalah pemberian sejumlah uang dari pembeli kepada penjual pada saat terjadi transaksi jual-beli. Jika jual beli itu diteruskan, maka uang itu merupakan bagian dari harga barang yang telah dijual, jika tidak, maka uang itu merupakan hibah dari pembeli kepada penjual.
Para ulama berbeda pendapat mengenai persekot ini. Secara ringkas pendapat-pendapat mengenai persekot adalah sebagai berikut:
Ada pendapat yang menyatakan bahwa persekot itu tidak mengandung gharar, maka jual beli dengan persekot adalah sah. Dalam hal ini persekot dianggap bagian dari harga yang telah disepakati. Sehingga persekot dapat diambil kembali apabila jual beli tidak jadi. Pendapat seperti ini antara lain dikemukakan oleh Imam Malik.
Ada yang berpendapat bahwa dalam persekot terdapat unsur gharar, maka jual beli dengan persekot adalah batal.
Persekot dianggap batal jika pembeli membatalkan jual beli. Tidak boleh bagi penjual menahan uang persekot jika pembeli membatalkan jual-beli. Begitu pula pembeli wajib mengembalikan barang kepada penjual dengan utuh. Apabila ada kerusakan , maka ia harus membayar sebesar kerusakan yang ada, tetapi tetap tidak kehilangan persekotnya.
Dalam KUH Perdata Indonesia, persekot diatur dalam pasal 1458 ayat (3) yang berbunyi: “sejak diterima uang muka dalam pembelian dengan pembayaran uang muka, kedua belah pihak tak dapat membatalkan perjanjian jual beli itu meskipun pembeli mebiarkan uang muka itu pada penjual, atau penjual membayar kembali uang itu kepada pembeli.” Dalam praktek perbankan, persekot digunakan sebagai awal atau permulaan transaksi antara bank (kreditur) dan nasabah (debitur0, misalnya dalam transaksi murabahah kepada pemesan pembelian.
Asuransi Dalam Perspektif Hukum Perjanjian Islam
Menurut pasal 246 KUHD, asuransi adalah: “Asuransi atau pertanggungan adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seseorang tertanggung dengan suatu premi untuk memberikan penggantioan kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tidak tertentu.” Dengan demikian unsur-unsur asuransi adalah: 1) penaggung (insurer), 2) tertanggung (insured) yang menerima proteksi, 3)peristiwa (accident) yang tidak diduga atau tidak diketahui sebelumnya, yang dapat menimbulkan kerugian, 4) kepentingan (interest) yang diasuransikan.
Dengan demikian asuransi mempunyai tujuan utama mengalihkan resiko yang ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya itu kepada orang lain yang mengambil resiko itu untuk mengganti kerugian. Jadi, pada hakikatnya, bisnis asuransi adalah bisnis berbasis resiko. Resiko yang dimaksud dalam asuransi adalah resiko yang bersifat parsial, karena asauransi pada prinsipnya merupakan alat sosial, yaitu membantu sebagian dari suatu unit yang tertimpa musibah oleh bagian lainnya yang tidak terkena musibah. Oleh karena itu resiko fundamental bukan merupakan obyek asuransi.
Macam-macam asuransi dapat digolongkan menjadi: 1) asuransi harta/benda, dan 2) asuransi jiwa. Prionsip-prinsip utama asuransi adalah : 1) kepentingan yang dapat diasuransikan, 2) jaminan atas ganti rugi (indemnity), 3) kepercayaan ( trustfull 4) itikad baik ( utmost goodfaith). Sebagai konsekwensi dari prinsip jaminan adalah pengalihan hak (suborgation) dan pelepasan hak milik (abandonment).
Dalam hukum perjanjian Islam , perjanjian asuransi ini terdapat dua istilah yaitu ta’min dan takaful, yang keduanya sama-sama berarti saling menaggung (takaful). Menurut Purwaatmaja, prinsip takaful adalah penghayatan terhadap semangat saling bertanggung jawab, kerja sama, dan perlindungan dalam kegiatan masyarakat demi tercapainya kesejahteraan umat dan masyarakat umumnya.
Mengenai hukum asuransi, walaupun masih terdapat perbedaan pendapat, pada asasnya tidak bertentangan dengan hukum Islam dalam prinsip dasarnya, baik prinsip hukum maupun prinsip teknisnya. Namun tidak tertutup kemungkinan, dalam bentuk pengoperasionalannya, bertentangan dengan hukum Islam. Oleh karena itu dalam pengoperasionalan asuransi ini perlu diperhatikan agar tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan seperti: maisir (judi), gharar(ketidak pastian) dan riba.
Perjanjian Baku Dalam Hukum Islam
Istilah perjanjian baku diterjemahkan dari bahasa Belanda standeard voorwarden, atau dalam pustaka hukum ada beberapa istilah Inggris yang dipakai misalnya: standardized contract, pad contract, standard contract, dan contract of adhesion. Perjanjian baku dapat dirumuskan sebagai perjanjian yang semua klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya, dan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Isi perjanjian tersebut 9klausul tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Isi perjanjian tersebut (klausul-klausulnya) biasanya telah dibakukan, atau terkadang dituangkan dalam bentuk formulir. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.
Macam-macam perjanjian baku adalah: 1)perjanjian standar sepihak, 2)perjanjian standar yang ditetapkan pemerintah, dan 3) perjanjian standar yang ditentukan di lingkungan notaris/ advokat.
Beberapa keuntungan yang diperoleh dari perjanjian baku diantaranya adalah: pertama, efisiensi waktu, biaya, dan tenaga., kedua,praktis karena sudah tersedia naskah yang dicetak berupa blanko atau formulir yang siap diisi dan ditandatangani., ketiga, penyelesaiiannya cepat karena konsumen hanya menyetujui atau menandatangani perjanjian yang disodorkan kepadanya, dan keempat, homogenitas perjanjian yang dibuat banyak.
Selain menguntungkan, dengan menggunakan perjanjian baku bisa juga merugikan salah satu pihak. Olehkarena itu Sjahdeini (antara lain) menawarkan asas public policy dan asas unconsionability. Kedua asas ini dimaksudkan untuk menguji klausul-klausul perjanjian baku (misalnya klausul eksemsi) apakah cukup wajar atau tidak memberatkan bagi pihak lainnya. Dengan adanya kedua asas ini maka perjanjian baku harus memperhatikan kepentingan sosial politik masyarakat serta tidak bertentangan dengan hati nurani masyarakat. Secara spesifik perjanjian baku belum diatur dalam hukum fiqh klasik. Aturan-aturan yang dibuat hukum Islam mengenai sebuah perjanjian secara umum dinyatakan : bahwa segala bentuk perjanjian pada dasarnya adalah boleh kecuali ada hal lain yang melarangnya. Hal laintersebut dengan mempertimbangkan nass, kebiasaan, dan kepentingan maslahah dan mafsadat sosial politik masyarakat. Maka dalam meninjau perjanjian baku ini, jika melihat pertimbangan nass, kebiasaan, dan kepentingan maslahah dan madarat sosial politik, dapat diterima sebagai perjanjian yang boleh dan sah.
Perdagangan Berjangka Komoditi
Menurut UU no. 32 Th. 1997, pasal 1 ayat (1), perdagangan berjangka komoditi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan jual beli berjangka komoditi dengan penyerahan kemudian berdasarkan kontrak berjangka dan opsi atas kontrak berjangka. Menurut Kepres No. 12 Tahun 1999, komoditi yang dijadikan subyek kontrak berjangka adalah kopi dan kelapa sawit. Kemudian dengan dikeluarkannya Kepres No. 12 Th. 2000, jumlah komoditi yang bisa dijadikan subyek kontrak berjangka adalah menjadi : kopi, minyak sawit, plywood, karet, kakao, dan lada.
Unsur-unsur yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi adalah antara lain: penjual, pembeli, pialang (broker yang berspekulasi menaggung resiko), dan Kliring House (badan yang menyelenggarakan dan menyediakan sarana untuk kegiatan jual beli komoditi berdasarkan kontrak berjangka dan opsi atas kontrak berjangka). Sedangkan manfaatnya antara lain adalah: dapat menstabilkan harga, produsen bisa dipastikan untuk berproduksi, dan konsumen terjamin kelangsungan usahanya karena dipastikan mendapatkan bahan baku.
Jika ditinjau dari perspektif hukum Islam, status hukum dari perdagangan berjangka komoditi ini masih mengandung permasalahan (diperselisihkan0 karena alasan-alasan:
dianggap sebagi bay’ al-ma’dum yang diharamkan,
adanya premi (persekot) dianggap mengandung gharar,
Masalh hedging (lindung nilai) masih diperdebatkan karena sejauh ini para ahli hukum Islam setidaknya baru membolehkan pengalihan resiko murni pada asuransi saja.
Karena hukum Islam bersifat elastis, dimana variabel perubahnya adalah: waktu, tempat, niat, tujuan, dan manfaat, berkenaan dengan perdagangan berjangka komoditi ini, jika dilihat segi manfaatnya maka bisa dikatakan sesuai dengan hukum Islam, walaupun terdapat ulama-ulama yang mengharamkan dengan alasan seperti di atas. Namun Yusuf Musa seorang fuqaha modern berkebangsaan Mesir, secara tegas menyatakan bahwa perdagangan berjangka komoditi secara syar’i adalah sah dan tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan asas-asas umum fiqh sertamaqasidal-syari’ah.
Majallah al-Ahkam al-Adliyah (Majallah)
Majallah adalah suatu upaya awal pengkodivikasian hukum Islam yang dibuat pada masa pemerintahan Turki Usmani (Ottoman Empire), yang pembuatannya memakan waktu selama 7 tahun ( 1285 H/ 1869 M – 1293 H/ 1876 M), yang berlaku di seluruh wilayah jajahan Turki Usmani.
Prinsip penyusunan Majallah adalah:1) menggunakan mazhab Hanafi sebagai dasar penyusunan, 2) prinsip kemaslahatan. Isi Majallah terdiri dari beberapa pasal yang jumlah keseluruhannya adalah 1851 pasal, dan dibagi menjadi 16 buku, dan didahului oleh muqaddimah yang menerangkan qawaid al-fiqhiyyah.
Nilai signifikansi Majallah antara lain:
Majallah merupakan bukti nyata akan kemampuan fiqh Islam untuk membenahi diri, dan penyesuaian dengan perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan ruh-ruh dasarnya.
Majallah merupakan asas nyata bagi perkembangan yang diterima praktisi fiqh islami, sebagi momentum awal untuk menemukan UU baru yang lebih komprehensif berdasarkan kemaslahatan, yang terambil dari mazhab yang tak terbatas.
Majallah memberikan inspirasi lahirnya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan bahasa hukum fiqh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan bahasa Yordania tahun 1976, dan UU Kepemerintahan Arab tahun 1985.
Majallah memberikan uraian istilah-istilah fiqh padasetiap buku, sehingga mudah untuk diketahui .
Sejalan dengan merosotnya kemampuan bertahan kerajaan Turki Usmani, majalah akhirnya tidak diberlakukan lagi dinegara-negara yang termasuk kedalam wilayah jajahannya. Misalnya di Libanon sejak tahun 1932, Syiria sejak tahun 1949, Irak tahin 1953, dll. Namunsebagaimana telah disinggung di atas, Majallah memberikan inspirasi bagi lahirnya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan hukum Islam.
Mengenai hal ini, KUH Perdata di beberapa negara Arab di dalamnya terserap hukum Islam. Misalnya KUH Perdata Irak 95 % merupakan hukum Islam. Sedangkan di Mesir walaupun yang berlaku sebelumya adalah code civil Perancis, penyerapan dari hukum Islam hampir 50%. Begitu pula KUH Perdata di Syiria , mengenai Syiria ini, walaupun yang berlaku sebelumnya adalah Majallah, namun karena Syria dan Mesir (bersama Libya) pernah membentuk negara Persatuan Arab, maka KUH Perdatanya hampir sama dengan Mesir (hanya berubah beberapa pasal saja), atau penyerapan hukum Islam sekitar 50 %. KUH Perdata negara-negara tersebut dibuat oleh satu orang tokoh yakni: “Abd al-Razzaq al-Sanhuri.
Prinsip Dan Metode Pengqanunan Syari’ah: Ke Arah Hermeneutika Hukum Perikatan Islam Di Indonesia.
Indonesia merupakan suatu negara yang plural, dimana mayoritas penduduknya beragama Islam. Namun walaupun demikian, ternyata sampai kini hukum perdata (begitu pula hukum pidana) yang berlaku di Indonesia masih mengikuti hukum yang merupakan peninggalan Belanda, yang berkiblat pada code civil perancis.Sehingga masih perlu dipertanyakan kesesuaiannya dengan hukum Islam.
Dalam hal hukum perikatan (yang merupakan bagian dari hukum perdata) ini, sebenarnya terbuka peluang untuk memasukan unsur-unsur hukum Islam, karena hukum perikatan tidak mempermasalahkan perbadaan agama. Maka pluralisme agama bukanlah merupakan persoalan.Sehingga perlu dipikirkan suatu metode pengqanunan hukum Islam (syari’ah) ke dalam hukum perdata Indonesia.
Pengqanunan syari’ah antara lain melalui dua tahapan yaitu tahapan hermeneutis, dan tahapan politis. Tahap hermeneutis adalah suatu upaya untuk menafsirkan hukum Islam (mengolah bahan baku hukum Islam ) untuk dituangkan ke dalam KUH Perdata. Pada tahap hermeneutis ini perlu memperhatikan 9mengklasifikasikan ) tiga hal yaitu:
Bagian hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama seperti hukum keluarga, dimana hal tersebut sudah merupakan peraturan-peraturan hukum yang kongkrit/ jelas.
Bagian hukum yang agak erat kaitannya dengan agama, seperti hukum muamalat, dimana sebagian merupakan peraturan hukum kongkrit dan sebagian lain masih berupa asas-asas umum yang bisa ditafsirkan.
Bagian hukum yang sangat renggang kaitannya dengan agama, seperti Hukum tata negara, dimana pada umumnya hanya berupa nilai-nilai filosofis hukum Islam, atau paling jauh hanya sampai pada asas-asas umumnya saja.
Dengan memperhatikan tiga hal di atas, maka hukum peikatan Islam dimana merupakan bagian dari hukum mua’malat secara umum, masih membuka peluang untuk ditafsirkan dan dituangkan ke dalam KUH Perdata seperti di negara Indonesia ini, apalagi mayoritas beragama Islam.
Tahapan lain dari upaya pengkanunan syari’ah adalah tahapan politis, yakni melalui badan legislatif (DPR). Tahapan ini sedikit banyak berpengaruh dalam upaya penyerapan hukum Islam ke dalam Kitab Undang-undang Hukum karena setiap proses perundang-undangan pasti melalui DPR. Dengan kata lain hukum merupakan produk politik, sehingga politik menjadi sangat independen bahkan determinan atas hukum. Oleh karena itu keterlibatan secara aktif dari umat Islam baik di luar parlemen, dan terutama di dalam parlemen sangat diperlukan dalam upaya pengkanunan syari’ah ke dalam Kitab Undang-undang hukum Perdata, di Indonesia ini.
Penutup
Demikian uraian yang merupakan ikhtisar dari perkuliahan hukum perikatan Islam ini, semoga dapat memberikan manfaat, dapat diterapkan dalam kegiatan mu’amalat modern, serta dapat dituangkan ke dalam kitab undang-undang Hukum Perdata, khususnya memberikan kontribusi terhadap pembentukan hukum perjanjian Indonesia.
Wallahu a’lam bi al-sawwab.
1 Lihat Sjahdeini, Perbankan…, h. 205. Mengingat perjanjian-perjanjian baku telah ditetapkan sebelumnya oleh pihak bank, maka kecenderungan dari perjanjian-perjanjian baku itu memang dibuat dengan mengandung banyak klausul yang bersifat lebih menguntungkan pihak bank. Mak menurut Sjahdeini perlu adanya peraturan tentang penyeragaman perjanjian baku ini.
2 Asal dari pengertian ta’zir adalah al-man’u (pencegahan), kemudian lebih dikenal dengan istilah al-ta’dib (pengajaran) yang pengertiannya adalah mencegah pelaku mengulangi perbuatannya, serta mencegah orang lain berbuat yang sama. Lihat Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islam Wa Adilatuh, (Damaskus: Dar el-Fikr, 1996) VI: 197.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar