Formalisasi hukum Islam --dengan jalan mensyariatkan hukum nasional yang berlandaskan pada pemikiran bahwa hukum positif seharusnya bersumberkan (antara lain) nilai-nilai syariat-- bila dihubungkan dengan teori pertingkatan hukum tadi menjadikan maslahat menempati posisi sebagai norma hukum abstrak (cita-cita hukum). Maslahat ini harus diterjemahkan sebagai kepentingan umum seluruh rakyat (tanpa terkecuali) dalam seluruh aspek kehidupan. Untuk itu diperlukan formulasi asas-asas ke dalam bentuk qanun, atau bentuk legislasi lainnya sebagai norma antara yang merupakan hasil pemahaman terhadap syariat (hasil ijtihad) sesuai dengan situasi, kondisi, budaya ruang dan waktu. Hasil penerapan dan penegakan norma antara inilah yang menjadi hukum positif yang merupakan norma konkret (living law) masyarakat.1
Formulasi asas-asas syariat dalam bentuk qanun (sebagai norma antara) merupakan hal yang niscaya untuk mewujudkan penerapan hukum positif (living law) yang sesuai dengan cita-cita al-Qur’an dan Sunnah. Istilah qanun umumnya dipakai untuk hukum yang berkaitan dengan masyarakat (mu`amalah bayn an-nas) bukan untuk lapangan ibadah, khususnya undang-undang atau hukum publik.2 Dalam perkembangannya qanun diidentikkan dengan undang-undang di negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim, berupa:
Aturan tentang hal-hal yang berkaitan antar sesama manusia (wilayah mu`amalah atau hal-hal keduniawian).
Hukum Islam yang sudah jelas ketentuan pokok dari nas-nya dan dalam waktu bersamaan merupakan kebijakan publik atas dasar `urf, istihsan, atau maslahah.
Suatu pilihan dari sekian banyak perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan fuqaha untuk kemudian harus ditaati oleh seluruh masyarakat, terutama jika qanun tadi merupakan produk lembaga legislatif.
Ketentuan hukum yang melewati ketentuan hukum Islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan umum (maslahah mursalah) dengan dalih siyasah syar`iyyah (politik hukum) yang sangat menonjolkan kepentingan pemerintah.
Undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau lembaga eksekutif yang mempunyai fungsi legislatif. Dalam sejarah, qanun dalam pengertian ini tidak selalu bernama undang-undang, tapi bisa berupa Titah Raja atau penguasa.3
Dari beberapa bentuk di atas, A. Qadri Azizy menyatakan bahwa qanun adalah:
Undang-undang yang diklaim berisi hukum Islam baik seluruhnya atau sebagiannya, dan tetap menggunakan prosedur menemukan hukum Islam, seperti dengan menggunakan alasan istihsan, `urf atau maslahah dan siyasah syar`iyah. Dengan demikian, maka ketentuan hukum yang ada di dalamnya menjadi bernilai Islam, di satu sisi; dan mempunyai kekuatan yang didukung oleh negara, di sisi yang lain.4
Dalam proses peng-qanun-an syariat pun bisa saja terjadi tarik menarik kepentingan antara berbagai kekuatan politik yang ada, termasuk dengan negara atau juga eksponen agama lain. Oleh karena itu diperlukan suatu metode atau strategi yang tepat. Syamsul Anwar misalnya, menawarkan metode dengan membaginya pada dua tahapan, yaitu tahapan hermeneutis dan tahapan politis.5
Pada tahapan pertama yakni hermeneutis,6 yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengklasifikasikan hukum atau syariat Islam ke dalam tiga hal, yaitu:
Bagian hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama, atau pemberlakuannya sangat khas bagi orang-orang Islam, seperti hukum keluarga, dimana hal tersebut sudah merupakan peraturan-peraturan konkret.
Bagian hukum yang agak erat kaitannya dengan agama, seperti hukum mu`amalat, dimana sebagian merupakan peraturan (norma) konkret dan sebagian yang lain masih merupakan asas-asas umum yang bisa ditafsirkan.
Bagian hukum yang sangat renggang kaitannya dengan agama seperti hukum tata negara, dimana syariat yang mengatur persoalan ini pada umumnya hanya berupa nilai-nilai filosofis saja, atau yang paling jauh hanya sampai pada asas-asas umumnya saja.
Pada tingkatan pertama (hukum keluarga) dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Penyebar luasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bisa disimpulkan bahwa hukum Islam telah berlaku secara positif bagi masyarakat Muslim Indonesia.7 Adapun poin kedua dan ketiga justeru memberikan peluang bagi seluruh rakyat Indonesia untuk meng-qanun-kan syariat. Dengan demikian, kulturisasi syariat bukan hanya terjadi dalam lapangan hukum keluarga, tapi juga hukum perdata lainnya, hukum pidana, hukum tata negara dan hukum administrasi negara.8
Tingkatan kedua pada klasifikasi di atas, mempunyai peluang sangat besar untuk diformalkan dalam tata hukum perbankan/bisnis di Indonesia, karena materinya terutama sebagian besar berupa asas-asas umum yang interpretable. Dengan demikian, formula mu’amalat yang dihasilkan relatif bisa diterima oleh semua kalangan, karena perumusannya akan selalu memperhatikan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan demografi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain ciri ekslusif yang selalu melekat pada setiap pemikiran hukum Islam bisa diminimalisir. Dan ini sama sekali tidak bertentang dengan dalil agama (al-Qur’an dan hadis), karena semangat utama yang dibawa oleh keduanya adalah kesejahteraan seluruh umat manusia (maslahat).
Oleh karena itu, penting diingat bahwa dalam tahapan hermeneutis formalisasi hokum Islam ini, bahan baku syariat (teks nas) harus diolah, didialogkan dengan konteks ruang, waktu, situasi, serta kondisi masyarakat Indonesia. Termasuk juga pada tahapan ini adalah menjembatani kesenjangan antara terminologi hukum umum dengan terminologi fiqh, sehingga ketika memasuki tahapan kedua (tahapan politis) tidak lagi menggunakan terminologi-terminologi yang khas Islam agar mempermudah proses legislasinya.
Tahapan politis dilakukan melalui badan legislatif (DPR). Wakil-wakil rakyat terutama dari partai politik berbasis massa Islam diharapkan berperan maksimal dalam tahapan ini. Namun demikian, melihat konfigurasi politik yang ada sekarang di DPR tidak melulu dari “kelompok” Islam tapi juga nasionalis dan bahkan “sekuler”, maka kemungkinan untuk dapat mensyariatkan hukum nasional secara menyeluruh tidaklah terlalu besar. Bisa jadi hukum yang akan dihasilkan merupakan campuran, atau hasil kompromi antara syariat dengan sistem hukum lain.
Berdasarkan uraian di atas, jawaban terhadap pertanyaan apakah ada peluang untuk memformalkan hukum Islam dalam sistem hukum nasional ternyata positif. Artinya secara substantif, hokum Islam pada dasarnya dapat diformalisasikan atau dipositivisasikan. Namun tentu saja, agar dapat operasional atau dapat berfungsi, maka formalisasi hokum islam tersebut harus memenuhi ketiga unsure berkaitan dengan kekuatan berlaku peraturan perundang-undangan, yakni harus mempunyai kekuatan berlaku yuridis, sosiologis, dan filosofis sekaligus.
Berdasarkan uraian teori pertingkatan hukum tadi, maslahat menjadi cita-cita hukum tertinggi (norma hukum abstrak) dalam formalisasi hukum Islam secara umum. maslahat ini kemudian diturunkan dalam bentuk nilai-nilai syari’ah. Khusus untuk hukum ekonomi Islam (muamalat), nilai-nilai syariah yang terkandung di dalamnya bisa dijelaskan pada dua tataran: makro dan mikro. Nilai-nilai syariah dalam perspektif mikro menghendaki bahwa semua dana yang diperoleh dalam sistem perbankan syariah dikelola dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati dengan mengedepankan nilai siddiq, tabligh, amanah dan fatanah. Tiga buah nilai yang harus dicermati oleh pelaku perbankan syariah tanah air adalah: 1) siddiq, yang berarti memastikan bahwa pengelolaan bank syariah dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Dengan nilai ini pengelolaan dana masyarakat akan dilakukan dengan cara-cara yang diperkenankan (halal) serta menjauhi cara-cara yang meragukan (subhat) terlebih lagi yang bersifat dilarang (haram). 2) Tabligh, yang berarti secara berkesinambungan melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip, produk dan jasa perbankan syariah. Dalam melakukan sosialisasi sebaiknya bank syariah tidak hanya mengedepankan pemenuhan prinsip syariah semata tapi juga harus mampu mendidik masyarakat berkaitan dengan manfaat bagi pengguna jasanya. 3)Fathanah, yang berarti memastikan bahwa pengelolaan bank dilakukan dengan profesional dan kompetitif hingga bisa mendatangkan keuntungan maksimum dalam tingkat risiko yang ditetapkan oleh bank.
Nilai-nilai syariah dalam perspektif makro, atau dalam bahasa Masudul Alam Choudhury disebut dengan instrumen-instrumen prinsip politik ekonomi Islam,9 berarti bahwa perbankan syariah harus berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dengan:
Kaidah zakat, yaitu mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai berinvestasi daripada hanya menyimpan hartanya.
Kaidah pelarangan riba, yaitu menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil dan melarang riba. Dengan ini diharapkan terbentuknya masyarakat yang tidak lagi mengharapkan hasil yang pasti (dari bunga), tapi berani menghadapi resiko keuntungan atau kerugian sekaligus.
Kaidah pelarangan judi yang tercermin dari kegiatan bank yang melarang investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil. Kondisi ini akan membentuk kecenderungan masyarakat untuk menghindari spekulasi dalam investasinya.
Kaidah pelarangan gharar, yakni mengutamakan transparansi dalam transaksi dan menghindari ketidakjelasan.10
Dengan demikian, dari sisi akademis, dengan melihat klasifikasi syamsul Anwar di atas, hukum ekonomi Islam (mu`malat) merupakan hukum yang memiliki peluang lebih besar untuk di-undang-kan bila dibandingkan dengan hukum Islam yang lain (pidana misalnya), karena relatif lebih sedikit menimbulkan resistensi di masyarakat. Bahkan jika dilihat secara obyektif, nilai-nilai syari’ah baik makro-maupun mikro di atas, sangat memungkinkan untuk mewujudkan cita-cita hokum tertinggi, yakni maslahat atau kemanfaatan bagi seluruh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah Ahmad, dkk. (ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., (Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Padmo Wahjono, “ Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional”, dalam Muhammad Busyro Muqaddas, dkk. (ed.), Politik Pembangunan Hukum Nasional Yogyakarta: UII Press, 1992
Bustanul Arifin, “Membangun Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999
Ichtijanto SA., “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk (peny.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Zuhairi Misrawi, “Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reintepretasi dan Depolitisasi” dalam Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 12 Tahun 2002
Juhaya S. Praja, “Kata Pengantar”, dalam Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LkiS, 2001 A. Qodri Azizy, Ekletisisme Hukum Islam, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002
Munawwir Sadzali, “Makna UU No. 7 Tahun 1989 dan KHI bagi Pembangunan Hukum di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum No. 17 Tahun 1994,
Mohammad Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1998
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terjemah oleh Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Paul Ricouer, Hermeneutics and Human Sciences, Cambridge & New York: Cambridge University Press, 1981.
Masudul Alam Choudhury, Studies in Islamic Science and Polity, Great Britain: Macmillan Press Ltd, 1998
Soetiksno. Filsafat Hukum. Cet. VI. Jakarta: Pradnya Paramita, 1988
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),Yogyakarta.
1 Amir Muallim dan Yusdani, Konfigurasi …, hlm. 83.
2 A. Qadri Azizy, Ekletisisme …, hlm. 58-59.
3Qodri Azizy, Ekletisisme Hukum..., hlm. 61-62.
4 Ibid., hlm. 62.
5 Disampaikan oleh Dr. Syamsul Anwar dalam kuliah Hukum Perikatan pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2001.
6 Hermeneutiks merupakan sebuah bangun metode, teori dan sekaligus filsafat yang memfokuskan diri pada persoalan memahami teks. Lihat Paul Ricouer, Hermeneutics and Human Sciences (Cambridge & New York: Cambridge University Press, 1981), hlm. 76. Pada intinya dalam memahami teks, hermeneutiks memperhatikan dialektika antara teks dengan konteks, antara nas dengan realitas, atau antara yang normatif dengan yang historis.
7Meskipun begitu, pemberlakuan KHI ini dikritik oleh Bahtiar Effendi dengan “Teori Akomodasi”, yaitu negara sepintas tampak mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik umat Islam sehingga merasa puas karena perjuangannya dinilai berhasil dengan diizinkannya beberapa kepentingan teologis umat Islam dalam struktur kenegaraan. Pada sisi lain, negara menjadi cukup tersanjung karena umat Islam dapat “dijinakkan” dengan perasaan senang. Teori ini bukan hanya “membius “ kritisisme, tapi lebih dari itu juga mengandung unsur menyesatkan. Lihat Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab …, hlm. 190.
8 Padmo Wahjono, “Budaya …”, hlm. 171.
9 Masudul Alam Choudhury, Studies in Islamic Science and Polity (Great Britain: Macmillan Press Ltd, 1998), hlm. 110-111. Di sini Choudhury menyatakan bahwa ada 4 instrumen prinsip politik ekonomi Islam: 1) penghapusan riba 2) pelembagaan mudarabah dan musyarakah 3) kewajiban zakat, dan 4) meminimalisir sikap berlebih-lebihan (israf).
10 Biro Perbankan Syariah-Bank Indonesia, Cetak Biru …, hlm. 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar