Abstract: Islamic economic law constitute the pilot project of islamic law research. This is more significance since the birth of modern Syari’ah financial institutions based on provision of contract law in the sphere of Islamic economic law (muamalat) and also the rapid development of moslem business need the legal status to be implemented to resolve when ever the despute of muamalat contract exist. The formalization of Islamic economic law today, by the enactment of UU No. 3 Tahun 2006 become the most outstanding and rapid development that outweighing what has been formulated before and gives the religious court the widermandate to resolve despute of muamalat contract. This clearly gives the advantage of Moslem society to comply with Syari’ah provision in their daily business activity from one hand, and also gives a challenge to Moslem society to mature this legal status from another. This writing tries to comprehend the formalization of Islamic economic law due to new release of UU No. 3 Tahun 2006 and looks it from both perspective: opportunity and challenge
Pendahuluan
Hukum Ekonomi Islam dijadikan pilot project dalam penelitian hukum Islam. Kajian ini menjadi signifikan karena lahirnya beberapa institusi syari’ah yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian dan mu’amalat Islam, serta semakin berkembangnya bisnis umat Islam yang diiringi munculnya keinginan untuk menyelaraskan bisnis sebagai fenomena modern, dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang orisinal. Kenyataannya, perangkat hukum ekonomi syari'ah kalah cepat dibandingkan dengan perkembangan dinamika ekonomi syari'ah itu sendiri. Sebagai contoh sampai hari ini dua paket RUU ekonomi syari'ah; RUU Perbankan Syari'ah dan RUU Surat Berharga Syari'ah Negara belum juga mendapatkan pengesahan.
Namun baru-baru ini, UU No 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, telah disahkan oleh Presiden Republik Indonesia. Kelahiran Undang-Undang ini membawa implikasi besar terhadap perundang-undangan yang mengatur harta benda, bisnis dan perdagangan secara Syari’ah secara luas. Sebelumnya, wewenang untuk menangani perselisihan atau sengketa dalam bidang ekonomi syariah diselesaikan di Pengadilan Negeri yang notabene belum bisa dianggap sebagai lembaga yang mempunyai yurisdiksi yang jelas dalam menyelenggarakan peradilan hukum syari’ah baik secara formil maupun materil. Dengan adanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, maka sengketa dalam bidang ekonomi Syari’ah menjadi yurisdiksi absolut Peradilan Agama.
Lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 sebagai amandemen terhadap Undang-undang Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 tersebut, membawa implikasi baru dalam sejarah hukum ekonomi Islam di Indonesia. Pengesahan terhadap Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA), menjadikan Peradilan Agama mendapatkan tambahan kewenangan yang sangat strategis. Terbitnya undang-undang tersebut memperlihatkan bahwa upaya-upaya formalisasi hukum Islam –khususnya dalam bidang ekonomi- sangatlah memungkinkan. Tulisan ini akan melihat lebih jauh megenai peluang dan tantangan formalisasi hukum ekonomi Islam secara umum, di samping melihat apa yang harus dilakukan menyikap perluasan kewenangan PA dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang ekonomi syariah.
Kilas Balik Politik Formalisasi Hukum Islam di Indonesia
Sebagai sebuah entitas, hukum selalu berinteraksi dengan politik. Keterlibatan umat Islam dalam percaturan politik di Indonesia turut menentukan karakter produk hukum yang dihasilkan, terutama yang berkenaan dengan hukum Islam. Karakter produk hukum identik dengan sifat atau watak suatu produk hukum.1 Hal ini dapat dilihat dari berbagai sudut teoritis. Di dalam studi hukum, banyak identifikasi yang dapat diberikan sebagai sifat atau karakter hukum, seperti sifat memaksa, sifat tidak berlaku surut, sifat umum, dan lain sebagainya.2
Pembahasan tentang keterkaitan hukum dengan politik di dalam studi hukum disebut dengan studi politik hukum. Politik hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan dirinya pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan oleh masyarakat tertentu.3 Definisi lain menyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4 Atau suatu usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.5 Rumusan yang lain menyatakan bahwa politik hukum sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah, mencakup pula pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.6
Hukum bukanlah suatu lembaga yang sama sekali otonom, namun berada pada kedudukan yang saling terkait dengan sektor-sektor kehidupan lain dalam masyarakat. Salah satu segi dari keadaan yang demikian itu adalah bahwa hukum harus senantiasa melakukan penyesuaian terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakatnya. Oleh karena itu, hukum merupakan dinamika. Politik hukum merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya dinamika yang demikian, oleh karena itu ia diarahkan kepada iure constituendo (ius constitutum) hukum yang seharusnya berlaku.7
Dalam politik hukum, ada dua dimensi yang terkait dan tak terpisahkan, yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional. Politik hukum dalam dimensi filosofis-teoritis merupakan parameter nilai bagi implementasi pembangunan dan pembinaan hukum di lapangan. Dimensi normatif-operasional merupakan cerminan kehendak-kehendak sosial penguasa terhadap konstruksi masyarakat yang diinginkan.8
Keberadaan suatu politik hukum memiliki beberapa tujuan, di antaranya; Pertama, menjamin keadilan dalam masyarakat. Kedua, menciptakan ketentraman hidup dengan memelihara kepastian hukum. Ketiga, menangani kepentingan-kepentingan yang nyata dalam kehidupan bersama secara konkrit.9
Dalam banyak hal, politik lebih sering mempengaruhi corak atau karakter hukum. Sub-sistem politik ternyata memiliki konsentrasi energi lebih besar daripada hukum yang mengakibatkan bahwa apabila hukum harus berhadapan dengan politik maka ia berada pada kedudukan yang lebih lemah.10 Hubungan itu disebut Satjipto Rahardjo sebagai hubungan yang mengkondisikan. Politik merupakan kondisi bagi dijalankannya hukum.11 Daniel S. Lev menyatakan, kutip Satjipto Rahardjo:
Untuk memahami sistem-sistem hukum di tengah-tengah tranformasi politik, kita harus mengamati mulai dari bawah untuk mengetahui macam peran sosial dan politik apakah yang diberikan orang kepadanya, fungsi-fungsi apakah yang boleh dilakukan, yang didorong untuk dilakukan, dan yang dilarang untuk dilakukan.12
Sebagai produk politik, hukum tidak dapat hanya dipahami dari pasal-pasal atau norma-norma yang imperatif (juga fakultatif), namun perlu juga dijelaskan latar belakang politiknya. Seseorang akan menjadi tidak puas atau kecewa bila hanya mengandalkan hukum sebagai keinginan (das sollen) ketika ingin memecahkan persoalan-persoalan hukum. Bagaimanapun hukum harus dilihat juga sebagai kenyataan (das sein) yang penjelasannya harus diberikan oleh perspektif lain, yaitu perspektif politik.13
Proses pembuatan hukum cenderung non-partisipatif, artinya hanya mereka yang terbatas dan terpilih yang mempunyai otoritas pembuatan hukum.14 Yang ideal dari suatu politik hukum (selain tujuan politik hukum yang disebutkan di atas) adalah keharusan penyesuaian antara produk hukum dengan gagasan struktur masyarakatnya, ini disebabkan hukum harus berfungsi untuk melayani masyarakatnya.15 Hal ini disebabkan “negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat)”. Penegasan tersebut dapat dipandang sebagai perspektif resmi atau dasar utama dari politik hukum nasional.16
Dengan memperhatikan konfigurasi politik yang ada, peran kekuasaan negara di dalam mendorong terjadinya legislasi hukum Islam di Indonesia, telah melewati masa yang sangat panjang dan melelahkan.17 Dan yang menarik dari kenyataan tersebut adalah adanya determinasi faktor politik yang hampir selalu menjadi penghambat bagi program legislasi hukum Islam. Dalam kaitan ini dapat disebutkan misalnya, Kompilasi Hukum Islam meskipun mendapat dukungan luas dari masayarakat muslim dan sebagian anggota parlemen, tetapi tidak sampai pada tarap perundang-undangan melainkan hanya sampai pada tarap kompilasi. Hal itu dapat menjelaskan bahwa berkaitan dengan legislasi hukum Islam di Indonesia sejauh ini faktor politik lebih determinan.
Peran politik hukum memainkan peranan yang begitu signifikan dalam legislasi Hukum Islam dalam sejarah tata hukum di Indonesia. Tanpa adanya aturan-aturan pelaksana dalam suatu sistem hukum nasional terhadap norma-norma hukum Islam ini, maka ia tidak akan mendapat penerimaan yang layak dan efektif dalam masyarakat.18 Banyak bagian dari materi hukum Islam yang membutuhkan kekuasaan negara misalnya tentang perkawinan, waris, wakaf, perdata, pidana, perekonomian, perdagangan, perbankan, hubungan antar negara, dan lain-lain. Hingga kini beberapa materi hukum Islam tersebut telah mendapatkan legislasi, misalnya diantaranya Undang-undang No 7 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA) dan Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991.
Dengan demikian, ada atau tidaknya obsesi politik Islam dalam berbagai rumusan hukum secara organik dari norma fundamental dan aktivitas konstitusional dalam perjalanan sejarah bangsa tidak berpengaruh sedikitpun pada keberadaan hukum Islam. Rekatnya tutup peluang pada tiap wadah sosial politik tidak mampu menahan rembesan hukum Islam.
Pertumbuhan hukum sepanjang berkait dengan hukum Islam selalu berjumpa dengan aktivitas yudisial itu dalam bentuk sesuai dengan tingkat permasalahan sosial. Tendensi historis yang demikian memberi peluang terjadinya transformasi hukum Islam ke dalam tradisi normatif masyarakat dan tata perundang-undangan negara.19 Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai amandemen terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA) dengan yurisdiksi yang diperluas, merupakan bukti keberhasilan transformasi hukum Islam tersebut. Jika selama ini kewenangan Peradilan Agama sangat terbatas dan hanya menyangkut hukum keluarga dan wakaf, maka sejak disahkannya perubahaan UU tersebut kewenangan PA menjadi diperluas, sengketa ekonomi syari'ah telah menjadi bagian dari kewenangan absolut Peradilan Agama. Melihat perkembangan yang menggembirakan tersebut, peluang terjadinya qanunisasi atau transformasi hukum Islam ke dalam tradisi normatif masyarakat dan tata perundang-undangan negara semakin terbuka. Peluang qanunisasi tersebut, menjadi lebih terbuka lebar dalam bidang ekonomi Islam.
Qanunisasi Hukum Ekonomi Islam.
Formulasi asas-asas syariat dalam bentuk qanun (sebagai norma antara) merupakan hal yang niscaya untuk mewujudkan penerapan hukum positif (living law) yang sesuai dengan cita-cita al-Qur’an dan Sunnah. Istilah qanun umumnya dipakai untuk hukum yang berkaitan dengan masyarakat (mu`amalah bayn an-nas) bukan untuk lapangan ibadah, khususnya undang-undang atau hukum publik.20 Dalam perkembangannya qanun diidentikkan dengan undang-undang di negara Islam atau negara berpenduduk mayoritas Muslim, berupa:
Aturan tentang hal-hal yang berkaitan antar sesama manusia (wilayah mu`amalah atau hal-hal keduniawian).
Hukum Islam yang sudah jelas ketentuan pokok dari nas-nya dan dalam waktu bersamaan merupakan kebijakan publik atas dasar `urf, istihsan, atau maslahah.
Suatu pilihan dari sekian banyak perbedaan pendapat (ikhtilaf) di kalangan fuqaha untuk kemudian harus ditaati oleh seluruh masyarakat, terutama jika qanun tadi merupakan produk lembaga legislatif.
Ketentuan hukum yang melewati ketentuan hukum Islam yang berlaku dengan alasan untuk kepentingan umum (maslahah mursalah) dengan dalih siyasah syar`iyyah (politik hukum) yang sangat menonjolkan kepentingan pemerintah.
Undang-undang resmi produk lembaga legislatif atau lembaga eksekutif yang mempunyai fungsi legislatif. Dalam sejarah, qanun dalam pengertian ini tidak selalu bernama undang-undang, tapi bisa berupa Titah Raja atau penguasa.21
Dari beberapa bentuk di atas, A. Qadri Azizy menyatakan bahwa qanun adalah:
Undang-undang yang diklaim berisi hukum Islam baik seluruhnya atau sebagiannya, dan tetap menggunakan prosedur menemukan hukum Islam, seperti dengan menggunakan alasan istihsan, `urf atau maslahah dan siyasah syar`iyah. Dengan demikian, maka ketentuan hukum yang ada di dalamnya menjadi bernilai Islam, di satu sisi; dan mempunyai kekuatan yang didukung oleh negara, di sisi yang lain.22
Dalam proses peng-qanun-an syariat pun bisa saja terjadi tarik menarik kepentingan antara berbagai kekuatan politik yang ada, termasuk dengan negara atau juga eksponen agama lain. Oleh karena itu diperlukan suatu metode atau strategi yang tepat. Syamsul Anwar misalnya, menawarkan metode dengan membaginya pada dua tahapan, yaitu tahapan hermeneutis dan tahapan politis.23
Pada tahapan pertama yakni hermeneutis,24 yang perlu dilakukan pertama kali adalah mengklasifikasikan hukum atau syariat Islam ke dalam tiga hal, yaitu:
Bagian hukum yang sangat erat kaitannya dengan agama, atau pemberlakuannya sangat khas bagi orang-orang Islam, seperti hukum keluarga, dimana hal tersebut sudah merupakan peraturan-peraturan konkret.
Bagian hukum yang agak erat kaitannya dengan agama, seperti hukum mu`amalat, dimana sebagian merupakan peraturan (norma) konkret dan sebagian yang lain masih merupakan asas-asas umum yang bisa ditafsirkan.
Bagian hukum yang sangat renggang kaitannya dengan agama seperti hukum tata negara, dimana syariat yang mengatur persoalan ini pada umumnya hanya berupa nilai-nilai filosofis saja, atau yang paling jauh hanya sampai pada asas-asas umumnya saja.
Pada tingkatan pertama (hukum keluarga) dengan keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Penyebar luasan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bisa disimpulkan bahwa hukum Islam telah berlaku secara positif bagi masyarakat Muslim Indonesia.25 Adapun poin kedua dan ketiga justeru memberikan peluang bagi seluruh rakyat Indonesia untuk meng-qanun-kan syariat. Dengan demikian, kulturisasi syariat bukan hanya terjadi dalam lapangan hukum keluarga, tapi juga hukum perdata lainnya, hukum pidana, hukum tata negara dan hukum administrasi negara.26
Tingkatan kedua pada klasifikasi di atas, mempunyai peluang sangat besar untuk diformalkan dalam tata hukum perbankan/bisnis di Indonesia, karena materinya terutama sebagian besar berupa asas-asas umum yang interpretable. Dengan demikian, formula mu’amalat yang dihasilkan relatif bisa diterima oleh semua kalangan, karena perumusannya akan selalu memperhatikan kondisi sosial, budaya, ekonomi dan demografi masyarakat Indonesia. Dengan kata lain ciri ekslusif yang selalu melekat pada setiap pemikiran hukum Islam bisa diminimalisir. Dan ini sama sekali tidak bertentang dengan dalil agama (al-Qur’an dan hadis), karena semangat utama yang dibawa oleh keduanya adalah kesejahteraan seluruh umat manusia (maslahat).
Oleh karena itu, penting diingat bahwa dalam tahapan hermeneutis formalisasi hukum Islam ini, bahan baku syariat (teks nas) harus diolah, didialogkan dengan konteks ruang, waktu, situasi, serta kondisi masyarakat Indonesia. Termasuk juga pada tahapan ini adalah menjembatani kesenjangan antara terminologi hukum umum dengan terminologi fiqh, sehingga ketika memasuki tahapan kedua (tahapan politis) tidak lagi menggunakan terminologi-terminologi yang khas Islam agar mempermudah proses legislasinya.
Tahapan politis dilakukan melalui badan legislatif (DPR). Wakil-wakil rakyat terutama dari partai politik berbasis massa Islam diharapkan berperan maksimal dalam tahapan ini. Namun demikian, melihat konfigurasi politik yang ada sekarang di DPR tidak melulu dari “kelompok” Islam tapi juga nasionalis dan bahkan “sekuler”, maka kemungkinan untuk dapat mensyariatkan hukum nasional secara menyeluruh tidaklah terlalu besar. Bisa jadi hukum yang akan dihasilkan merupakan campuran, atau hasil kompromi antara syariat dengan sistem hukum lain.
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan pengkajian ulang terkait tersendatnya pengesahan paket RUU ekonomi syari'ah ( RUU Perbankan Syari'ah dan RUU Surat Berharga Syari'ah Negara) menjadi undang-undang. Bisa jadi kendala terdapat pada tahapan hermeneutis, atau mungkin juga pada tahapan politis.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006: Harapan dan Tantangan
Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku Kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.27 Dengan UU No.3 tahun 2006 Pengadilan Agama mendapat tambahan kewenangan baru, diantaranya tentang Ekonomi Syari’ah.28 Pada pasal 49 point i disebutkan dengan jelas bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah.
Dalam penjelasan UU tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain meliputi :
Bank syariah,
Lembaga keuangan mikro syari’ah,
Asuransi syari’ah,
Reasurasi syari’ah,
Reksadana syari’ah,
Obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syariah,
Sekuritas syariah,
Pembiayaan syari’ah,
Pegadaian syari’ah,
Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah, dan
Bisnis syari’ah.
Tambahan kewenangan baru lainnya adalah :
Dalam perkara waris, wakaf, harta bersama & lainnya. Bila ada sengketa sepanjang hal itu dikalangan orang Islam itu sendiri, tetap menjadi kewengan Pengadilan Agama
Perkara bidang Zakat dan Infaq.
Penetapan asal-usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasar Hukum Islam.
Kewenangan tidak dibatasi pada perkara perdata saja, tetapi perkara tertentu.
Seiring dengan yurisdiksi wewenang yang dimiliki oleh Pengadilan Agama yang sedemikan besar seperti diamanatkan oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, semakin besar pula harapan yang dialamatkan bagi pencari keadilan di bidang ekonomi Syari’ah dan tantangan yang dihadapi oleh PA.
Ketika wewenang mengadili sengketa hukum ekonomi syariah menjadi wewenang absolut hakim pengadilan agama, maka dibutuhkan adanya kodifikasi hukum ekonomi syariah yang lengkap agar hukum ekonomi syariah memiliki kepastian hukum dan para hakim memiliki rujukan standart dalam menyelesaikan kasus-kasus sengketa di dalam bisnis syari’ah. Dalam bidang perkawinan, warisan dan waqaf, kita telah memiliki KHI (Kompilasi Hukum Islam), sedangkan dalam bidang ekonomi syariah kita belum memilikinya.
Dalam rangka menyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah sebagai hukum materil bagi penyelesaian perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang ekonomi syariah, menarik belajar dari Turki pada saat mereka membuat majallah sebagai upaya awal menyusun hukum materil baru dalam rangka menghasilkan hukum perdata baru yang lebih komprehensip. Majallah adalah suatu upaya awal pengkodivikasian hukum Islam yang dibuat pada masa pemerintahan Turki Usmani (Ottoman Empire), yang pembuatannya memakan waktu selama 7 tahun ( 1285 H/ 1869 M – 1293 H/ 1876 M), yang berlaku di seluruh wilayah jajahan Turki Usmani.29
Prinsip penyusunan Majallah adalah:1) menggunakan mazhab Hanafi sebagai dasar penyusunan, 2) prinsip kemaslahatan. Isi Majallah terdiri dari beberapa pasal yang jumlah keseluruhannya adalah 1851 pasal, dan dibagi menjadi 16 buku, dan didahului oleh muqaddimah yang menerangkan qawaid al-fiqhiyyah.
Nilai signifikansi Majallah antara lain:30
Majallah merupakan bukti nyata akan kemampuan fiqh Islam untuk membenahi diri, dan penyesuaian dengan perkembangan zaman dengan tidak meninggalkan ruh-ruh dasarnya.
Majallah merupakan asas nyata bagi perkembangan yang diterima praktisi fiqh islami, sebagi momentum awal untuk menemukan UU baru yang lebih komprehensif berdasarkan kemaslahatan, yang terambil dari mazhab yang tak terbatas.
Majallah memberikan inspirasi lahirnya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan bahasa hukum fiqh. Hal ini terbukti dengan terbentuknya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan bahasa Yordania tahun 1976, dan UU Kepemerintahan Arab tahun 1985.
Majallah memberikan uraian istilah-istilah fiqh padasetiap buku, sehingga mudah untuk diketahui .
Sejalan dengan merosotnya kemampuan bertahan kerajaan Turki Usmani, majalah akhirnya tidak diberlakukan lagi dinegara-negara yang termasuk kedalam wilayah jajahannya. Misalnya di Libanon sejak tahun 1932, Syiria sejak tahun 1949, Irak tahin 1953, dll. Namunsebagaimana telah disinggung di atas, Majallah memberikan inspirasi bagi lahirnya UU keperdataan Arab yang lebih dekat dengan hukum Islam.
Belajar dari upaya Pengkodivikasian hukum Islam dalam bentuk Majallah di Turki, tentu memberikan inspirasi bagi upaya serupa dalam rangka merampungkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) di Indonesia. Urgensi dari perampungan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) tersebut semakin signifikan manakala masalah asuransi syari'ah, reasuransi, pegadaian syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syari'ah, pasar modal syari'ah dan berbagai institusi lainnya belum memiliki payung hukum yang kuat. Kalaupun ada, aturan-aturan hukum tersebut tersebar ke dalam berbagai tempat. Ada dalam bentuk Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, regulasi BI, kitab-kitab fikih dan fatwa-fatwa ulama kalsik dan kotemporer. Jadi belum terkumpul menjadi satu. Kenyataan inilah yang dijawab Mahkamah Agung dengan menghadirkan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah. Problem regulasi ini sangat disadari oleh Mahkamah Agung. Melalui SK Mahkamah Agung Nomor 097/SK/X/2006 telah ditunjuk sebuah tim (Kelompok Kerja) yang bertugas menyusun "Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah (KHES). Tentu saja upaya MA melahirkan KHES ini layak diapresiasi, direspons dan disambut dengan gembira.
Salah satu bentuk apresiasi dan respons konstruktif yang dapat diberikan adalah melakukan telaah kritis terhadap materi yang ada di dalam KHES tersebut. Di antara hal-hal yang perlu di tela'ah, Pertama, bagaimanakah posisi KHES dalam konteks bangunan hukum nasional. Kedua, apa paradigma dan prinsip yang menjadi pijakan dalam perumusan KHES. Ketiga, bagaimana pendekatan dan metode istinbath yang dilakukan tim KHES dalam melahirkan hukum ekonomi syari'ah. Keempat, bagaimanakah hubungan KHES dengan undang-undang terkait. Kelima, bagaimana kedudukan dan kewenangan Dewan Syari'ah Nasional (DSN) pasca lahirnya KHES. Keenam, apakah aturan-aturan hukum yang terdapat di dalam KHES, memberikan ruang yang cukup luas bagi perkembangan ekonomi syari'ah atau malah sebaliknya akan membatasi ruang gerak ekonomi syari'ah.31
Dengan demikian adanya Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) merupakan kebutuhan yang mendesak. Menyadari hal itu, Ketua Mahkamah Agung RI telah membentuk Tim Penyusun Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah melalui surat Keputusan Nomor: KMA/097/SK/X/2006 tanggal 20 Oktober 2006. Berbagai upaya tindak lanjut terhadap keputusan Ketua Mahkamah Agung tersebut telah dilakukan, termasuk menjalin kerjasama dengan kalangan perguruan tinggi untuk menyusun draft akademis KHES. Kompilasi Hukum Muamalah Syari’ah diproyeksikan menjadi hukum material dan formal untuk menangani perkara-perkara di bidang ekonomi syari’ah.32
Menurut Wahyu Widiyana, Hukum materi yang berhubungan dengan ekonomi Syari’ah yang diperlukan oleh para hakim peradilan agama kini masih berserakan dalam berbagai sumber-sumber fiqh, fatwa ulama, dan peraturan Bank Indonesia. Oleh sebab itu, melakukan kompilasi hukum materi ekonomi Syari’ah merupakan hal yang sangat urgen dan dinanti-nantikan oleh para hakim di lingkungan peradilan agama
Dalam menyusun KHES peran serta ulama mesti dikedepankan terutama Dewan Syari’ah Nasional (DSN), agar tidak terjadi resistensi yang tajam terhadap kehadiran KHES tersebut. Oleh Karena itu, menurut Andi Samsu Alam, meski Mahkamah Agung kini telah mempunyai draft akademis KHES, tidak menutup kemungkinan bagi pihak lain yang mempunyai gagasan yang sama. Dengan adanya berbagai draft KHES, akan menambah sinergitas KHES yang lebih baik.
Selain masalah-masalah fundamental di atas, kehadiran KHES juga berimplikasi pada lembaga-lembaga terkait lainnya seperti Fakultas Syari'ah dan Peradilan Agama sendiri. Pertama, bagaimanakah kesiapan Fakultas Syari'ah menyongsong perubahan Undang-Undang Peradilan Agama dan lahirnya KHES. Persoalan ini menjadi penting, karena Fak. Syari'ah adalah dapur yang melahirkan sumber daya manusia (SDM) peradilan yang berkualitas. Kedua, bagaimana pula kesiapan para hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa sengketa ekonomi syari'ah. Pertanyaan ini penting mengingat amanah pasal 16 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 yang menegaskan bahwa "hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat." Terkait dengan kesiapan para hakim tersebut dalam menghadapi kewenagan baru melalui kebijakan MA, PA telah memepersiapkan diri dengan:33
Membangun SDM dengan Diklat,Pelatihan Hakim PA baik oleh MA, Perguruan Tinggi (PT) maupun Organisasi Profesi.
Menyiapkan dana untuk Diklat & penyediaan buku-buku Ekonomi Syari’ah.
Orientasi dengan pakar ekonomi khususnya Ekonomi Syari’ah serta praktisi Perbankan Syari’ah.
Bekerjasama dengan Perguruan Tinggi seperti UI,UII,UIN,USU; dengan membuka Program S2-S3 dengan konsentrasi Hukum Bisnis & Ekonomi Syari’ah.
Sertifikasi Hakim PA khusus untuk menangani perkara sengketa Ekonomi Syari’ah.
Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan adanya perluasan kewenangan Pengadilan Agama mencakup penyelesaian sengketa ekonomi syari'ah, berbanding lurus dengan tantangan yang harus dihadapinya. Artinya semakin besar kewenangan tersebut, semakin banyak hal yang harus dipersiapkan dan dibenahi terkait perluasan mandat tersebut. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dalam konfigurasi politik hukum di Indonesia, diperlakukan sebagai test case bagi seluruh stakeholder yang terkait dengannya, apakah mampu atau tidak mengawal dan menjalankan Undang-undang tersebut secara komprehensif konstruktif. Hal itu, menyiratkan adanya harapan sekaligus tantangan. Oleh karena itu, dukungan berbagai pihak seperti: pakar ekonomi khususnya Ekonomi Syari’ah, praktisi Perbankan Syari’ah, BI sebagai regulator, Dewan Syari’ah Nasional (DSN), kerjasama dengan Institusi Perguruan Tinggi, dan masyarakat muslim mutlak diperlukan.
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah Ahmad, dkk. (ed.), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Mengenang 65 Tahun Prof. Dr. H. Bustanul Arifin, S.H., (Jakarta: Gema Insani Press, 1996
Padmo Wahjono, “ Asas Negara Hukum dan Perwujudannya dalam Sistem Hukum Nasional”, dalam Muhammad Busyro Muqaddas, dkk. (ed.), Politik Pembangunan Hukum Nasional Yogyakarta: UII Press, 1992
Bustanul Arifin, “Membangun Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Rifyal Ka’bah, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan NU, Jakarta: Universitas Yarsi, 1999
Ichtijanto SA., “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia”, dalam Eddi Rudiana Arief, dkk (peny.), Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Zuhairi Misrawi, “Dekonstruksi Syariat; Jalan Menuju Desakralisasi, Reintepretasi dan Depolitisasi” dalam Tashwirul Afkar Jurnal Refleksi Pemikiran Keagamaan dan Kebudayaan, Edisi No. 12 Tahun 2002
Juhaya S. Praja, “Kata Pengantar”, dalam Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: Remaja Rosda Karya, 1991.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta: LkiS, 2001 A. Qodri Azizy, Ekletisisme Hukum Islam, Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002
Munawwir Sadzali, “Makna UU No. 7 Tahun 1989 dan KHI bagi Pembangunan Hukum di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum No. 17 Tahun 1994,
Mohammad Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia Jakarta: LP3ES, 1998
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, terjemah oleh Ikhwan Abidin Basri, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Paul Ricouer, Hermeneutics and Human Sciences, Cambridge & New York: Cambridge University Press, 1981.
Masudul Alam Choudhury, Studies in Islamic Science and Polity, Great Britain: Macmillan Press Ltd, 1998
Soetiksno. Filsafat Hukum. Cet. VI. Jakarta: Pradnya Paramita, 1988
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),Yogyakarta.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm. 33.
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 49.
M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 5-6.
Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1988), hlm. 1.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 352.
Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm. 40.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 116-117.
Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1985), hlm. 71.
Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. Vi.
Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, hlm. 31.
Ibid, hlm. 30
Ibid.,.
Ibid, hlm. 59.
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). hlm. 24
A. Qadri Azizy, Ekletisisme …, hlm. 58-59.
Qodri Azizy, Ekletisisme Hukum..., hlm. 61-62.
Ibid., hlm. 62.
Disampaikan oleh Dr. Syamsul Anwar dalam kuliah Hukum Perikatan pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2001.
Hermeneutiks merupakan sebuah bangun metode, teori dan sekaligus filsafat yang memfokuskan diri pada persoalan memahami teks. Lihat Paul Ricouer, Hermeneutics and Human Sciences (Cambridge & New York: Cambridge University Press, 1981), hlm. 76. Pada intinya dalam memahami teks, hermeneutiks memperhatikan dialektika antara teks dengan konteks, antara nas dengan realitas, atau antara yang normatif dengan yang historis.
Meskipun begitu, pemberlakuan KHI ini dikritik oleh Bahtiar Effendi dengan “Teori Akomodasi”, yaitu negara sepintas tampak mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik umat Islam sehingga merasa puas karena perjuangannya dinilai berhasil dengan diizinkannya beberapa kepentingan teologis umat Islam dalam struktur kenegaraan. Pada sisi lain, negara menjadi cukup tersanjung karena umat Islam dapat “dijinakkan” dengan perasaan senang. Teori ini bukan hanya “membius “ kritisisme, tapi lebih dari itu juga mengandung unsur menyesatkan. Lihat Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab …, hlm. 190.
Padmo Wahjono, “Budaya …”, hlm. 171.
Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (Ps.2 UU No.3 tahun 2006)
Lihat (Ps.49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006).
Disampaikan oleh Dr. Syamsul Anwar dalam kuliah Hukum Perikatan pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2001
Ibid.,
Azhari Akmal Tarigan, “Marhaban Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah” diakses dalam http://www.waspada online/go.id/detil
Ibid.,
Suhartoyo, “Legal Officer dan Hukum Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama” disampaikan dalam Seminar dan Short Course PErbankan dan LembagaKeuangan Syari’ah, Jur. Muamalat Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 7 – 9 September 2007
1 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm. 33.
2 Ibid.
3 Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 49.
4 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 5-6.
5 Ibid, hlm. 6.
6 Moh. Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1988), hlm. 1.
7 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 352.
8 Marzuki Wahid dan Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum Islam di Indonesia, hlm. 40.
9 Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 116-117.
10 Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: CV. Sinar Baru, 1985), hlm. 71.
11 Ibid.
12 Ibid.
13 Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. Vi.
14 Ibid.
15 Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, hlm. 31.
16 Ibid, hlm. 30
17 Ibid.,.
18 Ibid, hlm. 59.
19 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). hlm. 24
20 A. Qadri Azizy, Ekletisisme …, hlm. 58-59.
21Qodri Azizy, Ekletisisme Hukum..., hlm. 61-62.
22 Ibid., hlm. 62.
23 Disampaikan oleh Dr. Syamsul Anwar dalam kuliah Hukum Perikatan pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2001.
24 Hermeneutiks merupakan sebuah bangun metode, teori dan sekaligus filsafat yang memfokuskan diri pada persoalan memahami teks. Lihat Paul Ricouer, Hermeneutics and Human Sciences (Cambridge & New York: Cambridge University Press, 1981), hlm. 76. Pada intinya dalam memahami teks, hermeneutiks memperhatikan dialektika antara teks dengan konteks, antara nas dengan realitas, atau antara yang normatif dengan yang historis.
25Meskipun begitu, pemberlakuan KHI ini dikritik oleh Bahtiar Effendi dengan “Teori Akomodasi”, yaitu negara sepintas tampak mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik umat Islam sehingga merasa puas karena perjuangannya dinilai berhasil dengan diizinkannya beberapa kepentingan teologis umat Islam dalam struktur kenegaraan. Pada sisi lain, negara menjadi cukup tersanjung karena umat Islam dapat “dijinakkan” dengan perasaan senang. Teori ini bukan hanya “membius “ kritisisme, tapi lebih dari itu juga mengandung unsur menyesatkan. Lihat Marzuki Wahid, Fiqh Madzhab …, hlm. 190.
26 Padmo Wahjono, “Budaya …”, hlm. 171.
27 Sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (Ps.2 UU No.3 tahun 2006)
28 Lihat (Ps.49 huruf i UU No. 3 Tahun 2006).
29 Disampaikan oleh Dr. Syamsul Anwar dalam kuliah Hukum Perikatan pada Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 2001
30 Ibid.,
31 Azhari Akmal Tarigan, “Marhaban Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah” diakses dalam http://www.waspada online/go.id/detil
32 Ibid.,
33 Suhartoyo, “Legal Officer dan Hukum Ekonomi Syari’ah di Pengadilan Agama” disampaikan dalam Seminar dan Short Course PErbankan dan LembagaKeuangan Syari’ah, Jur. Muamalat Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 7 – 9 September 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar