Ekonomi Syari’ah Sebagai Harapan
Pada saat ilmu ekonomi konvensional telah siap dalam formatnya yang sudah sangat maju, Ilmu Ekonomi dengan perspektif Islam atau yang sering dikenal dengan nama Ekonomi syari’ah, baru menikmati masa kebangkitannya pada tiga atau empat dekade terakhir ini saja. Untuk mempelajari ekonomi syari’ah ini, yang harus dipahami pertama kali adalah mengetahui kedudukan ekonomi syari’ah dalam sistem Islam secara universal.
Pada hakikatnya Islam merupakan kesatuan ajaran aqidah dan syari’ah yang bertujuan untuk mewujudkan masyarakat berakhlak mulia. Keduanya merupakan kesatuan yang tak dapat terpisahkan, dimana aqidah merupakan sistem keyakinan terhadap keesaan Tuhan (Tauhid) yang bersifat absolut, yang menjadi dasar universal. Sedangkan Syari’ah merupakan penjelmaan nilai-nilai tersebut dalam sistem kehidupan masyarakat yang terus berubah, dan menyangkut berbagai aspeknya. Untuk menjalankan syari’ah ini diperlukan sistem dalam pranata sosial yang terbuka dan dinamis, yang dapat menjawab tantangan perubahan dan pluralitas (Musa Asy’ari, 1997: 11-12). Salah satu aspek yang diatur dalam Syari’ah yang penjabarannya adalah fiqh, adalah aktivitas muamalah. Pengaturan dalam hal ini bertujuan untuk meraih kemaslahatan, mewujudkan keadilan, dan mengurangi kezaliman dalam bidang ekonomi.
Dengan demikian Al Qur’an dan Sunnah Rasul saw merupakan petunjuk jalan hidup baik dalam kegiatan ibadah maupun muamalah bagi seluruh umat Islam, bahkan bagi seluruh umat manusia sebagaimana penegasan al-Qur’an bahwa Islam adalah Rahmatan lil alamin. Oleh penganutnya Islam dianggap memuat ajaran-ajaran komprehensif, yang dapat memberi jalan keluar bagi seluruh persoalan kemanusiaan (ukhrijat linnas), termasuk persoalan ekonomi. Gambaran tentang kemampuan syari’at Islam dalam menjawab segala permasalahan kontemporer bisa diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syariat Islam mengenai tatanan hidup secara vertikal dan horizontal. Mayoritas ahli fiqh telah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu`amalat) adalah boleh, kecuali ada dalil yng menunjukkan bahwa sesuatu terlarang. Tentang prinsip mu`amalat, khususnya yang berhubungan dengan “hukum asal segala sesuatu” ahli usul menetapkan kaidah: al-Asl fi al-asy-ya’ al-ibahah (As-Suyuti, 1415 H: 44).
Oleh karena itu ketika sistem ekonomi yang dominan pada saat ini (Kapitalisme), dianggap kurang memuaskan (untuk tidak mengatakan gagal) dalam menjawab persoalan perekonomian manusia, maka adanya sistem perekonomian yang lebih baik yang dapat ditawarkan Islam, menjadi harapan yang menjanjikan. Apalagi Kapitalisme modern yang walaupun akhirnya mampu membuktikan kelebihannya dari sosialisme, kenyataannya justru melahirkan berbagai persoalan, terutama bagi negara-negara Dunia Ketiga (termasuk negara-negara Muslim) yang cenderung menjadi obyek daripada menjadi subyek kapitalisme.
Kegagalan pendekatan pembangunan ekonomi secara konvensional itu, ditandai dengan adanya kemiskinan masyarakat, eksploitasi kaum kaya terhadap kaum miskin, meningkatnya disparitas pada tingkat regional dan internasional, tidak seimbangnya neraca produksi dan konsumsi terhadap kebutuhan lingkungan, dan tidak rasionalnya pemanfaatan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaiki. Oleh karena itu, beberapa ahli ekonomi menekankan perlunya pertanggungjawaban sosial, cultural dan agama dalam memilih jalur-jalur pembangunan ekonomi (Muhammad, 2003:41).
Dengan demikian, untuk mempermudah kita memahami ekonomi Islam secara komprehensif, maka ada baiknya kita tempuh dengan menggunakan pendekatan perbandingan, yakni dengan membandingkan system ekonomi Islam dengan system ekonomi konvensional (kapitalisme dan sosialisme).
Perbandingan Sistem Ekonomi | |||
Sistem Ekonomi | Paradigma Yang Dianut | Basis Fondasi Mikro | Landasan Filosofis |
Sosialisme | Marxian | tidak ada kepemilikan pribadi atas alat-alat maupun faktor-faktor produksi lainnya. | Dialektika-Materialistik |
Kapitalisme | ekonomi pasar | menusia ekonomi (homo economicus | Utilitarianisme, Individualisme dengan Laissezfaire |
Islam/ Syari’ah | Syariah | manusia sebagai seorang muslim yang ahsani taqwim (homo islamicus) | individualisme yang tunduk akan perintah Tuhan dan bertindak sebagai khalifah di muka bumi yang bertujuan mencapai falah (kemenangan, kebahagiaan) di dunia dan akhirat dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia |
(Arif, 2001: 13).
Tabel di atas memperlihatkan, Sistem ekonomi Sosialisme yang berpedoman pada paradigma Marxisme dengan dasar filosofis Dialektika-Materialistik memberikan basis fondasi mikro pada tidak adanya kepemilikan pribadi dalam hal produksi. Kemudian Sistem Ekonomi Kapitalisme yang menjadikan paradigma ekonomi pasar sebagai cara pandangnya, dengan basis fondasi mikro melihat manusia sebagai menusia ekonomi (homo economicus) dimana dasar filososfisnya bersumber pada paham Utilitarianisme, Individualisme dengan Laissezfaire. Sementara Sistem Ekonomi Islami adalah sistem yang berdasarkan sisi pandang paradigma syariah dengan basis fondasi mikro melihat manusia sebagai seorang muslim (homo islamicus) yang tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai (akidah) yang tercermin dalam sikap hidup manusia (akhlak). Sistem Ekonomi Islami sendiri menjadikan dasar filosofisnya bahwa manusia sebagai individualisme yang tunduk akan perintah Tuhan dan bertindak sebagai khalifah di muka bumi yang bertujuan mencapai falah (kemenangan, kebahagiaan) di dunia dan akhirat dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia.
Implementasi Ekonomi Syari’ah
Dari uraian pendahuluan, terlihat bahwa Sistem pemikiran ekonomi syari’ah berbeda sekali dengan sistem pemikiran ekonomi modern yang sekular-positif (sosialisme dan kapitalisme). Sistem pemikiran ekonomi syari’ah dengan jelas sekali didasarkan pada nilai-nilai yang tidak diragukan kebenarannya. Aliran ekonomi syari’ah sarat dengan nilai-nilai yang merupakan asumsi yang harus terpenuhi dalam jalannya perekonomian, walaupun kenyataannya nilai-nilai ini juga perlu disesuaikan dengan keadaan. Hal ini tentunya membawa konsekuensi memandang manusia sebagai homo islamicus. Oleh karena itu bagian-bagian yang membentuk sistem, kebijakan sistem islami dan faktor lingkungan sosiologis masyarakat tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang terinternalisiasi dalam sumber kehidupan tersebut (Prayudi, 2006).
Pada dataran implementatif, penerapan ekonomi syari’ah dapat dibagi menjadi tiga level yaitu teori ekonomi islami, sistem ekonomi islami dan perekonomian umat Islam. Dalam hal pengembangan teori, telah banyak pemikiran-pemikiran ekonomi islami sebut saja misalkan pemikiran dari Bagir Sadr, Umer Chapra, Fahim Khan, Abdul Mannan, M.A. Choudury, Muhammad Arief, Abbas Mirakhor, Yusuf Qardhowi, dan lain-lain yang mencoba menjawab berbagai permasalahan dan tujuan hidup manusia terutama di bidang ekonomi. Di lain pihak teori yang sudah berkembang saat ini (secara ekstrim diwakili sosialisme dan kapitalisme) sudah banyak dipertanyakan realitas dari pencapaian tujuan normative dari sistem tersebut yaitu negara kesejahteraan (welfare state), hal ini paling tidak oleh beberapa tokoh ekonomi yang mengembangkan teori itu sendiri seperti : Gunnar Myrdal - seorang peraih nobel ekonomi yang tidak bangga dengan penghargaan yang dia terima, Joan Robinson (Penemu teori Monopolistic Competition), Amartya Sen (peraih nobel 1998 di bidang ekonomi), dan lain sebagainya.
Berkaitan dengan sistem ekonomi islami kemudian, maka teori-teori yang sudah dikembangkan tadi harus diterjemahkan kedalam bentuk peraturan-peraturan, baik dalam bentuk regulatory rule maupun constitution rule. Sedangkan dalam hal penerapan perekonomian ummat Islam maka yang harus dilakukan oleh ummat Islam adalah bahwa umat Islam harus mengusai perekonomian karena kalau tidak maka umat Islam hanya akan terus bergantung pada ummat yang lain.
Penegakan pada salah satu level saja tidak akan menghasilkan tegaknya syariah islam dalam bidang ekonomi. Jadi menegakkan perekonomian umat tidak cukup dengan sidiq, amanah dan tabligh saja, namun harus pula dilengkapi dengan fatonah yaitu kecerdasan dalam strategi berekonomi. Hal yang lebih mendesak lagi dalam hal pengembangan ekonomi islami adalah implementasi dari ketiga level tingkatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, karena suatu sistem ajaran, termasuk agama, tidak akan berfaedah dan tidak akan membawa perbaikan hidup yang dijanjikan, jika tidak dilaksanakan. Oleh karena itu dalam Islam keuntungan yang dikejar dalam berekonomi bukan hanya keuntungan material, melainkan ada keuntungan-keuntungan lain yang bersifat lebih maknawi, karena dalam berniaga atau berekonomi sebenarnya kita berada dalam beribadah kepada Allah (Nurcholis Madjid, !999).
Sejauh ini, realisasi dari penegakan tiga level implementasi grand theory sistem ekonomi islam yang telah diterapkan di berbagai negara adalah pada sektor keuangan, yang terutama terlihat dengan maraknya pendirian bank-bank berbasis syari’ah.Setelah lembaga keuangan syariah menjamur, mestinya sektor riil yang berbasiskan syariah juga ditumbuhkan, sehingga nantinya perlu ada asosiasi hotel syariah, produk makanan syariah, dsb.
C. Masa Depan Ekonomi Syari’ah
Perkembangan sektor moneter syariah yang tanpa diimbangi oleh sektor riil yang sepadan pada akhirnya akan membuat sektor moneter syariah stagnan. Bila sektor riil syariah ikut bergerak, maka akan tercapai apa yang disebut sebagai ekuilibrium antara perbankan syariah dan sektor riilnya. Pada dasarnya, perbankan syariah tidak akan berkembang bila pertalian dengan sektor riil tidak terjalin erat. Untuk tujuan ini, perlu ada kajian-kajian dan langkah-langkah serta usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk mendukung proses perkembangan sektor moneter yang seimbang dengan bergeraknya sektor riil
Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu, Islam menawarkan konsep ekonomi yang dilandasi nilai-nilai dan etika yang bersumber dari nilai-nilai dasar agama (religion value based) yang menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan. Seorang orientalis berkebangsaan Perancis, Raymond Charles, mengatakan bahwa ekonomi Islam telah menggariskan jalan kemajuan tersendiri. Di bidang produksi ia sangat memuliakan kerja dan mengharamkan segala bentuk eksploitasi. Di bidang distribusi ia menetapkan dua kaidah "bagi masing-masing menurut kebutuhannya", dan "Bagi masing-masing menurut hasil kerjanya". Dengan adanya penghargaan terhadap prestasi kerja seseorang, secara langsung ataupun tidak dapat meningkatkan produktivitas, sehingga meningkatkan penghasilan dan daya beli masyarakat, sehingga kesenjangan ekonomi yang sangat tampak akibat praktek-praktek ekonomi kapitalis, dapat diperkecil atau jika mungkin dihilangkan.
Dengan kata lain, konsep ekonomi Islam telah menetapkan batas-batas tertentu terhadap perilaku manusia sehingga menguntungkan individu tanpa mengorbankan hak-hak individu lainnya. Perilaku mereka yang ditetapkan dalam Hukum Allah (Syari’ah) harus diawasi oleh masyarakat secara keseluruhan, berdasarkan aturan Islam. Adanya mekanisme pasar yaitu kekuatan permintaan dan penawaran, selama tidak ada cara-cara yang tidak jujur digunakan dalam proses tersebut, dan kedua hal tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip kebebasan dan kerjasama, adalah sah.
Pada dasarnya Ekonomi Islam adalah ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan). Memang, kerjasama adalah tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Dalam hal pengembangan daya guna ini, ketika misalnya seseorang kekurangan modal, solusi yang ditawarkan dalam konsep Islam adalah kerjasama (mudarabah, musyarakah ataupun murabahah), yang pembagian keuntungannya didasarkan kerja-kerja nyata, bukan prediksi berupa dipastikannya keuntungan sesuai dengan berjalannya waktu dengan prosentase tertentu, seperti instrumen interest (bunga) dalam ekonomi konvensional.
Dengan demikian, berbicara mengenai pengembangan sektor riil, maka konsep ekonomi dan perdagangan yang dilandasi nilai-nilai dan etika Islam, nampaknya lebih menjanjikan dibandingkan konsep ekonomi kapitalisme maupun sosialisme. Oleh karena itu melaksanakan system syari’ah, sangat penting untuk dilakukan dalam upaya pengembangan sektor riil ini. Dengan perkataan lain salah satu hal yang dapat menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan memajukan sektor riil, adalah dengan mengembangkan ekonomi syari’ah.
Untuk memajukan sektor riil perlu didukung oleh satu lembaga keuangan yang memiliki manajemen sederhana akan tetapi kaya fungsi. Lembaga seperti itu dapat kita lihat dalam konsep Baitul Maal wa at- Tamwil (BMT). Secara prinsip, BMT merupakan lembaga ekonomi mikro berbasiskan syari’ah yang bergerak dalam sektor riil, dan sasarannya ditujukan untuk memberdayakan kelompok ekonomi lemah (masyarakat kecil atau UKM). Meskipun manfaatnya sangat dirasakan oleh masyarakat, akan tetapi pemerintah masih belum mengakui keberadaan BMT secara legal formal, sebagai lembaga keuangan mikro syari’ah yang berdiri sendiri. Dengan demikian, kekuatan legal BMT masih sangat lemah, padahal adanya regulasi dan infrastruktur yang jelas sangat membantu menopang keberlangsungan UKM dan kelompok masyarakat ekonomi lemah.
Dari uraian diatas terlihat bahwa lingkaran persoalan yang dihadapi BMT adalah pada ketiadaan peraturan yang mendukung keberadaannya. Dari sini, formalisasi hukum ekonomi Islam (mu`amalat) menjadi signifikan, karena dengan tersedianya perangkat aturan yang sejalan dengan karakteristiknya, BMT bisa memaksimalkan fungsinya dan konsisten dengan kesyariahannya.
D. Daftar Pustaka
Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.
Arif, Muhammad, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 2, Winter 1985, p. 87-103.
Asy’ari, Musa. Islam Etos Kerja Dan pemberdayaan Ekonomi Umat. Yogyakarta, LESFI, 1997.
Bornstein, Morris, Comparative Economic System : Model and Cases, terj. Kelas Sistem Ekonomi FEUI 1999/2000, Jakarta, 1999.
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Oleh Ikhwan Abidin B, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, Jakarta, 2001
Chapra, Umer, The Future of Economic : Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Shariah Economics and Banking Instintute (SEBI), Jakarta, 2001.
Ilyas, Daniel, “Sistem Pemikiran Ekonomi Islami”, Makalah dalam Diskusi Internal KEI FSI-SMFEUI (tidak dipublikasikan), Jakarta : 2001.
Karim, Adiwarman A, “Penerapan Syariah Islam di Bidang Ekonomi”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Shariah Economics Days 2001 oleh FSI-FEUI. 2001.
Madjid, Nurcholis. Islam: Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1999.
Mannan, M. A. Ekonomi Islam : Teori dan Praktek, Intermasa, Jakarta, 1992.
Mirza, Iskandar .“Sejarah dan Aktualisasi Ekonomi Syariah” @ eramuslim.com, 2002.
Rahardjo, M. Dawam. Etika Ekonomi Dan Manajemen, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990.
Rodinson, Maxime, Islam dan Kapitalisme, terj. Asep hikmat, Bandung: Iqra’, 1982.
Saefuddin, Imam. Sistem, Prinsip, dan Tujuan Ekonomi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 1999
Siddiqi , Muhammad Najetullah, “History of Islamic Economic Thought”, dalam A. Ahmad dan K. R. Awan, ed., Lectures on Islamic Economics, IRTI-IDB, Jeddah, K.S.A., 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar